Powered By Blogger

Kamis, 08 Juli 2010

Mengolok-olok Syariat Islam

Tanya : Seringkali didapatkan sebagian muslim mengatakan pada sebagian yang lain yang menjalankan sunnah memelihara jenggot dengan ”jenggot kambing”, atau orang yang menaikkan batas celananya di atas mata kaki dengan ”kebanjiran”. Apa hukum Islam dalam hal ini ?

Jawab : Di antara tanda orang yang beriman adalah menetapi syari’atnya dan mengagungkannya dalam setiap sendi kehidupan. Allah ta’ala telah berfirman :

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

”Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [QS. Al-Hajj : 22].

Adalah sikap yang bertentangan dengan keimanan jika ada orang yang mengejek, mencemooh, dan memperolok syari’at atau orang yang melaksanakan syari’at. Para ulama menyebut sikap-sikap seperti itu dengan istilah : istihzaa’. Sikap istihzaa’ ini merupakan sikap asli yang berasal dari orang-orang kafir. Salah satu kaum yang selalu ber-istihzaa’ terhadap Islam dan kaum muslimin adalah Yahudi. Allah telah mengabadikan sikap orang Yahudi dalam Al-Qur’an ketika mereka membuat plesetan-plesetan untuk menghina Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa`ina", tetapi katakanlah: "Undhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih [QS. Al-Baqarah : 104]. [1].

Istihzaa’ adalah sikap/perbuatan yang sangat berbahaya bagi seorang muslim jika melakukannya. Para ulama telah sepakat bahwa istihzaa’ merupakan dosa besar yang dapat menyebabkan kekafiran mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sejarah Islam telah mencatat bagaimana sikap kaum munafiqiin yang mengolok-olok Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan kaum muslimin yang dengan itu menyebabkan kekafiran mereka,
sebagaimana difirmankan Allah ta’ala :

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ * وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [QS. At-Taubah : 64-66].

Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsir-nya dan Al-Imam Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan asbabun-nuzul (sebab turunnya) ayat di atas dengan sanad tidak mengapa (la ba’sa) dari Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

قال رجل في غزوة تبوك، في مجلس: ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء؛ أرغب بطونا، ولا أكذب ألسنا، ولا أجبن عند اللقاء. فقال رجل في المجلس: كذبت، ولكنك منافق، لأخبرن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فبلغ ذلك النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ونزل القرآن. قال عبد الله بن عمر: فأنا رأيته متعلقا بحقب ناقة رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، تنكبه الحجارة، وهو يقول: يا رسول الله إنما كنا نخوض ونلعب. ورسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ يقول: ( أ بالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم )

Dalam majelis, berkatalah seorang laki-laki pada perang Tabuk : “Kami tidak pernah melihat seperti tamu-tamu kita ini; sangat mementingkan perut (rakus), sangat pendusta dan penakut dalam pertempuran/peperangan”. Maka berkatalah seseorang kepadanya : “Engkau berdusta, engkau jelas munafik. Akan aku laporkan apa yang engkau ucapkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Maka, sampailah ucapan tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian turunlah ayat di atas. Ibnu Umar kemudian melanjutkan : “Maka aku lihat laki-laki tersebut bergantung di belakang unta Nabi, tersandung batu-batu, sambil berkata : ‘Ya Rasulullah, kami hanya main-main saja, tidak sungguh-sungguh”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman” [selesai].

Al-Imam Abu Bakr Al-Jashshash rahimahullah berkata :

فيه الدلالة على أن اللاعب والجاد سواء في إظهار كلمة الكفر على غير وجه الإكراه. لأن هؤلاء المنافقين ذكروا أنهم قالوا ما قالوه لعبا، فأخبر الله عن كفرهم باللعب بذلك. وروى الحسن وقتادة أنهم قالوا في غزوة تبوك: أيرجو هذا الرجل أن يفتح قصور الشام وحصونها!! هيهات هيهات. فأطلع الله نبيه على ذلك. فأخبر أن هذا القول كفر منهم على أي وجه قالوا من جِد أو هزل، فدل على استواء حكم الجاد والهازل في إظهار كلمة الكفر. ودل ـ أيضا ـ على أن الاستهزاء بآيات الله، أو بشيء من شرائع دينه: كفر من فاعله

”Pada ayat tersebut terdapat dalil bahwa seseorang yang bermain-main atau sungguh-sungguh adalah sama kedudukannya dalam hal mengeluarkan kalimat kufur yang dilakukan dengan sengaja. Orang-orang munafik tersebut mengatakan bahwa mereka mengatakan perkataan itu hanya main-main saja. Maka Allah mengkhabarkan (kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam) akan kekafiran mereka atas sebab hal itu. Al-Hasan dan Qatadah meriwayatkan bahwasannya mereka (kaum munafiq) berkata dalam peperangan Tabuk : ”Apakah laki-laki ini (yaitu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam) berangan-angan untuk membuka istana-istana Syaam beserta benteng-bentengnya ?! Sungguh sangat jauh khayalan ini”. Maka Allah menampakkan perkataan mereka kepada Nabi-Nya. Allah mengkhabarkan bahwasannya perkataan mereka itu adalah tanda kekufuran mereka, baik itu serius atau main-main saja. Ini menunjukkan bahwa dalam mengeluarkan ucapan-ucapan kufur baik serius atau main-main itu hukumnya sama. Juga menunjukkan bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah atau satu bagian dari syari’at agama-Nya adalah kekufuran bagi si pelaku” [selesai – Ahkaamul-Qur’an ju3 hal 142].

Al-Imam Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :

وقوله: {قَدْ كَفَرْتُمْ } أي: قد ظهر كفركم بعد إظهاركم الإيمان؛ وهذا يدل على أن الجد واللعب في إظهار كلمة الكفر سواء.

”Dan firman-Nya : ”Sungguh karena kamu telah kafir”; yaitu tampaknya kekafiranmu setelah keimananmu. Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengeluarkan kalimat kekufuran adalah sama” [Zaadul-Masiir 3/465].

Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Iftaa’ pernah ditanya tentang hukum orang yang mengolok-olok sebagian perkara-perkara yang disunnahkan seperti siwak, pakaian di atas mata kaki, dan minum sambil duduk; maka dijawab :

من استهزأ ببعض المستحبات، كالسواك، والقميص الذي لا يتجاوز نصف الساق، والقبض في الصلاة، ونحوها مما ثبت من السنن؛ فحكمه: أنه يبين له مشروعية ذلك، وأن السنة عن الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ دلت على ذلك؛ فإذا أصر على الاستهزاء بالسنن الثابتة: كفر بذلك، لأنه بهذا يكون متنقصا للرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولشرعه، والتنقص بذلك كفر أكبر

”Barangsiapa yang mengolok-olok sebagian perkara yang disunnahkan, seperti siwak, berpakaian tidak melebihi pertengahan betis, bersedekap ketika shalat dan lainnya yang telah tetap dari Sunnah; maka hukumnya adalah : Hendaknya ia diberikan penjelasan tentang disyari’atkannya perbuatan tersebut (yang ia olok-olok). Bahwasannya Sunnah Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam menunjukkan demikian. Apabila setelah diberi penjelasan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Sunnah yang telah tetap, (orang tersebut masih saja mengolok-olok), maka ia telah kufur. Hal itu disebabkan karena ia telah mencela dan menghujat Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam dan syari’atnya. Mencela dan menghujat yang seperti ini maka termasuk kufur akbar” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah lisy-Syawaarifi hal. 141-142],

Memanjangkan jenggot dan menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal) termasuk diantara syari’at Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam [2]. Maka tidak pantas bagi seseorang meninggalkannya, apalagi malah mengolok-oloknya. Hendaknya setiap kaum muslimin senantiasa menjaga lisannya agar tidak sampai digelincirkan oleh syaithan untuk mengucapkan kalimat-kalimat kekufuran yang akan membuatnya menyesal di dunia dan di akhirat. Wallaahu a’lam.

[1] Tentang syari’at memanjangkan jenggot :

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم جزوا الشوارب وأرخوا اللحى خالفوا المجوس

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Pangkaslah kumis, panjangkanlah jenggot, danm selisihilah kaum Majusi” [HR. Muslim no. 260].

Tentang syari’at mengangkat pakaian/celana/sarung di atas mata kaki :

عن حذيفة قال أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح

Dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memegang urat betisku”. Maka beliau bersabda : “Ini adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki” [HR. At-Tirmidzi no. 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih].

[2] ”Raa’inaa” artinya : sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Ketika para shahabat radliyallaahu ’anhum menggunakan kata-kata ini kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, orang-orang Yahudi pun latah meniru mereka namun dengan diplesetkan untuk menghina beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Orang Yahudi mengatakan : ”Ru’unah” yang artinya adalah : ketololan yang amat sangat. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan para shahabat agar mengatakan undhurnaa yang artinya sama dengan raa’inaa.

Mungkinkah si Manusia kawin dengan si Jin

Artikel ini tidak akan membahas hukum pernikahan antara jin dengan manusia, karena hal itu telah dibahas dalam artikel sebelumnya (lihat : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/04/menikah-dengan-jin.html). Yang akan disinggung di sini adalah keberadaan/realitas dari permasalahan itu sendiri : Apakah dimungkinkan pernikahan antara jin dengan manusia ?. Jawabnya : Mungkin, dan itu telah terjadi. Di sini saya tidak akan mengutip dari buku-buku atau majalah-majalah ‘alam ghaib’ kontemporer. Tanpa berpanjang lebar kata, berikut perkataan para ulama kita :

Penulis kitab Tafsiir Hadaaiqur-Ruuh war-Raihaan (15/302) berkata :
ومن هنا أخذ بعض العلماء أن يمتنع أن يتزوج المرء امرأة من الجن، إذ لا مجانسة بينهما فلا مناكحة، وأكثرهم على إمكانه
“Dari sini, sebagian ulama menolak pernikahan seorang laki-laki dengan wanita dari kalangan jin, karena tidak sejenis sehingga tidak (mungkin) terjadi pernikahan keduanya. Namun kebanyakan ulama berpendapat mungkinnya pernikahan tersebut” [selesai].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وقد يتناكح الإنس والجن ويولد بينهما ولد، وهذا كثير معروف، وقد ذكر العلماء ذلك وتكلموا عليه
“Sungguh telah terjadi pernikahan antara manusia dengan jin yang kemudian menghasilkan anak dari keduanya. Hal ini telah banyak terjadi lagi ma’ruuf. Para ulama telah menyebutkannya dan memperbincangkan fenomena itu” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 19/39].
Asy-Syibliy rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Ahkaamul-Marjaan fii Ahkaamil-Jaann (hal. 67) berkata : Dan telah berkata Ahmad bin Sulaimaan An-Najjaad[1] dalam kitab Amaaliy-nya :
حدثنا علي بن الحسن بن سليمان أبو الشعثاء الحضرمي أحد شيوخ مسلم حدثنا أبو معاوية قال سمعت الأعمش يقول: تزوج إلينا جني، فقلت له: ما أحب الطعام إليكم؟ قال: الأرز... القصة.
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan bin Sulaimaan Abusy-Sya’tsaa’ Al-Hadlramiy[2] – salah seorang guru dari (Al-Imam) Muslim – : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah[3], ia berkata : Aku mendengar Al-A’masy berkata : Seorang jin telah menikah dengan kami (manusia). Lalu aku katakan padanya (jin) : “Makanan apa yang paling kalian sukai ?”. Ia berkata : “Beras/nasi......dst.” [hasan].[4]
Asy-Syibliy rahimahullah berkata :
قال شيخنا الحافظ أبو الحجاج المزي تغمده الله برحمته: هذا إسناد صحيح إلى الأعمش
“Telah berkata syaikh kami Al-Haafidh Abul-Hajjaaj Al-Miziiy - semoga Allah memperbaiki keadaannya dengan rahmat-Nya – : ‘Sanad riwayat ini shahih sampai pada Al-A’masy”.
Adz-Dzahabiy rahimahullah :
ونقل رفيقنا أبو الفتح اليعمري وكان متثبثاً قال سمعت الإمام تقي الدين ابن دقيق العيد يقول: سمعت شيخنا أبا محمد بن عبد السلام السلمي يقول: وجرى ذكر أبي عبد الله بن العربي الطائي فقال: هو شيعي سوء كذاب، فقلت له: وكذاب أيضا؟ قال: نعم تذاكرنا بدمشق التزويج بالجن فقال: هذا محال لأن الإنس جسم كثيف والجن روح لطيف، ولن يعلق الجسم الكثيف الروح اللطيف، ثم بعد قليل رأيته وبه شجة فقال: تزوجت جنية فرزقت منها ثلاثة أولاد فاتفق يوما أن أغضبتها فضربتني بعظم حصلت منه هذه الشجة وانصرفت فلم أرها بعد هذا، أو معناه.
”Teman kami Abul-Fath Al-Ya’muriy – ia seorang yang kuat hapalannya – menukil, ia berkata : Aku mendengar Al-Imam Taqiyyuddin bin Daqiiqil-’Ied berkata : Aku mendengar syaikh kami Abu Muhammad bin ’Abdis-Salaam As-Sulamiy berkata bahwa ia pernah terlibat pembicaraan tentang diri Abu ’Abdillah bin Al-’Arabiy Ath-Thaa’iy, lalu berkata : ’Ia seorang Syi’iy (penganut Syi’ah) yang jelek lagi pendusta’. Aku (Ibnu Daqiiqil-’Ied) berkata kepadanya : ’Pendusta jugakah ia ?’. Ia menjawab : ’Benar. Kami pernah berdiskusi di Damaskus sekitar permasalahan pernikahan dengan jin. Lalu ia berkata : ’Ini sesuatu yang mustahil, karena manusia adalah jasmani yang padat, sedangkan jin adalah ruh yang halus. Jasmani yang padat dengan ruh yang halus tidak dapat berhubungan’. Setelah itu, tiba-tiba aku melihatnya terluka. Ia berkata : ’Aku pernah menikah dengan jin perempuan hingga dikaruniai tiga orang anak. Hingga satu hari aku membuatnya marah, sehingga ia memukulku dengan tulang sampai membekas luka ini. Lalu jin perempuan itu kabur dan aku tidak pernah melihatnya lagi setelah itu’. Atau ucapan yang semakna dengan ini” [Miizaanul-I’tidaal, 3/659].
Dusta dari Ath-Thaa’iy adalah karena ia sebelumnya mengatakan tidak mungkinnya pernikahan antara jin dengan manusia, namun ternyata ia sendiri mengakui telah melakukannya.
As-Suyuthiy dalam kitab Laqthul-Marjaan (hal. 64-65) berkata :
وحدثنا قاضي القضاة جلال الدين أحمد بن قاضي القضاة حسام الدين الرازي الحنفي قال: سفرني والدي لإحضار أهله من المشرق فلما جزت البيرة إلى أن نمنا في مغارة وكنت في جماعة، فبينا أنا نائم إذا بشيء يوقظني فانتبهت فإذا بامرأة وسط من النساء لها عين واحدة مشقوقة بالطول فارتعبت فقالت: ما عليك فإنما أتيتك لتتزوج ابنة كالقمر فقلت لخوفي منها: على خيرة الله ثم نظرت فإذا برجال قد أقبلوا فإذا هم كهيئة المرأة عيونهم مشقوقة بالطول في هيئة قاض وشهود فتخطى القاضي وعقد فقبلت ثم نهضوا وعادت المرأة ومعها جارية حسناء إلا أن عينها مثل عين أمها، وتركتها عندي وانصرفت، فزاد خوفي واستيحاشي وبقيت أرمي من كان عندي بالحجارة حتى يستيقظوا فما انتبه منهم أحد، فأقبلت على الدعاء والتضرع، ثم آن الرحيل فرحلنا وتلك الشابة لا تفارقني، فذهب على هذا ثلاثة أيام فلما كان اليوم الرابع أتتني المرأة التي جاءتني أولا وقالت: كأن هذه الشابة ما أعجبتك وكأنك تحب فراقها. فقلت: أي والله قالت: فطلقها فانصرفت ثم لم أرها بعد.
”Telah menceritakan kepada kami Qaadliy Al-Qudlaat Jalaaluddiin Ahmad bin Qaadliy Al-Qudlaat Hisaamuddiin Ar-Raaziy Al-Hanafiy, ia berkata : Ayahku memerintahkakku untuk melakukan safar untuk menjemput keluarganya dari daerah timur. Ketika aku sampai di padang tandus, kami bermalam di sebuah gua. Waktu itu kami berombongan. Maka, saat aku tertidur, ada sesuatu yang membuat aku bangun. Ternyata, ada seorang wanita setengah baya yang mempunyai satu mata melintang vertikal. Ia berkata : ”Ada apa denganmu ? Aku mendatangimu agar engkau mau menikahi anak perempuanku yang (wajahnya) seperti bulan (cantik). Karena takut, aku berkata : ”Aku hanya mau sesuai dengan pilihan Allah”. Kemudian aku lihat beberapa orang laki-laki datang. Wajah mereka sama seperti wanita tadi yang hanya punya satu mata melintang vertikal. Penampilan mereka seperti hakim dan saksi-saksi. Lalu si hakim melangkah dan mengadakan aqad. Aku menerimanya. Setelah selesai, mereka kemudian bangkit pergi. Wanita itu kembali bersama anak perempuannya yang cantik. Namun, matanya seperti mata ibunya. Ia meninggalkan anak perempuannya itu di sisiku, lalu pergi. Rasa takutku bertambah. Aku melempar orang-orang di sekitarku dengan kerikil agar bangun, namun ternyata tidak seorang pun yang bangun. Lalu aku berdoa dan merendahkan diri di hadapan Allah. Tibalah waktu melanjutkan perjalanan, sementara perempuan itu selalu bersamaku. Hal itu berlangsung selama tiga hari. Ketika menginjak hari keempat, si wanita setengah baya yang menemuiku sebelumnya kembali datang. Ia berkata : ”Sepertinya anak perempuan ini tidak lagi menyukaimu. Dan sepertinya engkau juga ingin menceraikannya”. Aku berkata ”Ya benar, demi Allah”. Ia berkata ”Ceraikanlah ia”. Setelah aku ceraikan, maka mereka pergi dan kemudian aku tidak pernah melihatnya kembali setelah itu” [selesai].
……………………………………
[selesai – abul-jauzaa’ – diambil sebagian dari buku Al-Burhaan ’alaa Tahriimit-Tanaakuhi bainal-Insi wal-Jaan oleh Fadliilatusy-Syaikh Muhammad bin ’Abdillah Al-Imam – bisa di-download dari mauqi’ beliau – dimana penghukuman riwayat Al-A’masy di atas, beliau mendla’ifkannya].

[1] An-Najjaad, ia adalah Ahmad bin Salmaan bin Al-Hasan bin Israaiil bin Yuunus Abu Bakr Al-Faqiih Al-Hanbaliy An-Najjaad. Ad-Daaruquthniy berkata : “Ahmad bin Salmaan telah meriwayatkan dari kitab orang lain yang tidak terdapat dalam ushul (kitab)-nya itu”. Al-Khathiib kemudian mengomentari perkataan Ad-Daaruquthniy tersebut : “An-Najjaad mengalami kebutaan di akhir umurnya. Kemungkinan sebagian pencari hadits (muridnya) membacakan kepadanya apa yang disebutkan oleh Ad-Daaruquthniy. Wallaahu a’lam”. Sebelumnya Al-Khathiib berkata tentangnya : “Ia seorang yang shaduuq ‘aarif,…. mempunyai banyak hadits/riwayat”. Ahmad bin ‘Abdaan berkata : “Tidak masuk dalam Ash-Shahiih”. Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq”. Di lain tempat ia berkata : “Penghulu dalam ilmu fiqh dan riwayat/hadits”. Di lain tempat ia berkata : “Al-imaam, al-muhaddits, al-haafidh, al-faqiih, al-muftiy” [lihat : Taariikh Baghdaad 5/309-313 no. 2149, Thabaqatul-Hanaabilah 3/15-23 no. 581, Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 15/502-505 no. 285, Miizaanul-I’tidaal 1/101 no. 396, dan Lisaanul-Miizaan 1/474-475 no. 535].
[2] ‘Aliy bin Al-Hasan bin Sulaimaan Al-Hadlramiy Abul-Hasan/Abul-Husain Al-Waasithiy/Al-Kuufiy Al-Adamiy; seorang yang tsiqah, dipakai oleh Muslim dalam Shahih-nya. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Haakim berkata : “Tsiqah ma’muun”. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah” [lihat : Tahdziibul-Kamaal 20/369-371 no. 4041 dan Tahdziibut-Tahdziib 7/297-298 no. 510].
[3] Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’iin berkata : “Abu Mu’aawiyyah sangat kami senangi/sukai, yaitu dalam riwayat Al-A’masy”. Di lain riwayat Ahmad berkata : “Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir selain riwayatnya dari Al-A’masy, maka mudltharib, ia tidak menghapalnya dengan hapalan yang baik”. Di lain riwayat Ibnu Ma’iin berkata : “Abu Mu’aawiyyah lebih tsabt daripada Jariir dalam hadits Al-A’masy”. Di lain riwayat Ibnu Ma’iin berkata : “Setelah Sufyaan dan Syu’bah, maka Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir (adalah orang yang paling tsabt dalam hadits Al-A’masy)”. Al-Wakii’iy berkata : “Kami tidak menjumpai seorang pun yang lebih mengetahui tentang hadits-hadits Al-A’masy selain Abu Mu’aawiyyah”. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah, tsiqah”. Ya’quub bin Syu’bah berkata : “Ia termasuk di antara orang-orang tsiqah, kadangkala melakukan tadlis”. Ibnul-Khiraasy berkata : “Shaduuq. Kedudukannya dalam hadits Al-A’masy, tsiqah. Namun jika selainnya, maka terdapat idlthiraab”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia seorang yang haafidh lagi mutqin. Akan tetapi ia seorang murji’ yang jelek/keji (khabiits)” [lihat : Tahdziibul-Kamaal 25/123-133 no. 5173].
[4] Kekhawatiran riwayat ini berasal dari sisipan muridnya saat ia mengalami kebutaan, maka ini perlu dibuktikan.
‘Aliy bin Al-Hasan Abusy-Sya’tsaa mempunyai mutaba’ah dari Daawud Ash-Shafadiy. Asy-Syibliy dalam Ahkaamul-Marjaan (hal. 68) menyebutkan : Telah berkata Abu Bakr Al-Kharaaithiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Manshuur Ar-Ramaadiy : Telah menceritakan kepada kami Daawud Ash-Shafadiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir, dari Al-A’masy, ia berkata : Aku pernah menyaksikan pernikahan seorang jin di daerah Kauniy….dst”.
Sanad riwayat lemah. Daawud Ash-Shafadiy tidak diketemukan biografinya. Al-Kharaaithiy, ia adalah Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Sahl bin Syaakir Abu Bakr Al-Kharaaithiy. Al-Khaathib berkata : “Hasanul-akhbaar, mempunyai tulisan-tulisan yang bagus/indah”. Ibnu Maakuulaa berkata : “Ia termasuk di antara pribadi-pribadi yang tsiqah”. Adz-Dzahabiy berkata : “Al-imaam, al-haafidh, ash-shaduuq, al-mushannif” [lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/267-268 no. 115]. Abu Bakr Ahmad bin Manshuur Ar-Ramadiy; Adz-Dzahabiy berkata tentangnya : “Tsiqah masyhuur,…. Ditsiqahkan oleh Ad-Daaruquthniy dan yang lainnya” [Miizaanul-I’tidaal, 1/158 no. 632].

Puasa Rajab

Beberapa waktu lalu ada yang menanyakan kepada saya tentang puasa Rajab. Saat saya menulis artikel ini, kalender menunjukkan tanggal 21 Rajab 1431. Mungkin agak ‘telat’. Akan tetapi, bahasan agama tidak mengenal kata telat untuk dipahami dan diamalkan. Berikut akan saya tuliskan secara ringkas – seperti biasa – bahasan sebegaimana tertera dalam judul di atas.

Jika ada pertanyaan : Apakah terlarang berpuasa di bulan Rajab ?.
Jawabannya : Tidak. Tidak ada dalil yang melarang seseorang berpuasa di bulan Rajab[1], sebagaimana juga tidak ada dalil untuk melarang berpuasa di bulan lainnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat senang berpuasa pada bulan-bulan hijriyah, tidak terkecuali di bulan Rajab.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة. حدثنا عبدالله بن نمير. ح وحدثنا ابن نمير. حدثنا أبي. حدثنا عثمان بن حكيم الأنصاري. قال: سألت سعيد بن جبير عن صوم رجب ؟ ونحن يومئذ في رجب. فقال: سمعت ابن عباس رضي الله عنها يقول: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول: لا يفطر. ويفطر حتى نقول: لا يصوم.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair. Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim Al-Anshaariy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Sa’iid bin Jubair tentang puasa Rajab dimana kami waktu itu berada di bulan Rajab. Ia (Sa’iid) menjawab : Aku mendengar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpuasa hingga kami berkata : ‘beliau tidak pernah berbuka’. Dan beliau pun pernah berbuka hingga kami berkata : ‘beliau tidak pernah berpuasa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1157].[2]
Apakah hadits di atas menunjukkan pengkhususan puasa di bulan Rajab dengan keutamaannya ?.
Jawabannya : Tidak. Sifat puasa yang diceritakan oleh Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu bukanlah sifat puasa yang ia lihat khusus di bulan Rajab saja, namun juga sifat puasa yang ia secara umum pada diri beliau di luar bulan Ramadlan. Maksudnya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terkadang banyak berpuasa pada satu bulan, terkadang pula meninggalkannya.
Kebetulan, ‘Utsmaan bin Hakiim bertanya kepada Sa’iid bin Jubair tentang berpuasa di bulan Rajab, dan kemudian ia jawab dengan jawaban umum tentang sifat puasa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di luar bulan Ramadlan.
Perhatikan riwayat berikut :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا كَامِلًا قَطُّ غَيْرَ رَمَضَانَ وَيَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا وَاللَّهِ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا وَاللَّهِ لَا يَصُومُ
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu Bisyr, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa selama sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadlan. Dan beliau seseorang yang rajin puasa sehingga sehingga ada yang berkata : ‘Tidak, demi Allah, beliau tidak pernah berbuka”. Namun beliau pun berbuka hingga ada yang berkata : ‘Tidak, demi Allah, beliau tidak berpuasa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1971].
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ مِنْ الشَّهْرِ حَتَّى نَظُنَّ أَنْ لَا يَصُومَ مِنْهُ وَيَصُومُ حَتَّى نَظُنَّ أَنْ لَا يُفْطِرَ مِنْهُ شَيْئًا وَكَانَ لَا تَشَاءُ تَرَاهُ مِنْ اللَّيْلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيْتَهُ وَلَا نَائِمًا إِلَّا رَأَيْتَهُ
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ja’far, dari Humaid : Bahwasannya ia pernah mendengar Anas radliyallaahu ‘anhu berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berbuka selama satu bulan hingga kami menduganya beliau tidak pernah berpuasa selama itu. Dan apabila berpuasa, seakan-akan beliau terus menerus berpuasa hingga kami menduganya beliau tidak pernah berbuka sama sekali dalam bulan itu. Dan jika engkau hendak melihat beliau pada suatu malam dalam keadaan shalat, niscaya engkau akan melihatnya. Sebaliknya, jika engkau ingin melihat beliau dalam posisi tertidur, melainkan engkau kalian akan melihatnya juga" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1972].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Abun-Nadlr Maulaa ‘Umar bin ‘Ubaidillah, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, dari ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya ia berkata : “Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam senantiasa berpuasa hingga kami mengatakan : ‘beliau tidak pernah berbuka’. Dan beliau senantiasa berbuka hingga kami mengatakan : ‘beliau tidak berpuasa’. Dan tidaklah aku melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadlan, dan tidaklah aku melihat beliau dalam satu bulan lebih banyak melakukan berpuasa daripada bulan Sya'ban” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2434; shahih].[3]
Oleh karena itu, pelaksanaan puasa di bulan Rajab adalah pelaksanaan puasa sunnah secara mutlak. Tidak ada hadits shahih yang menjadi dasar untuk mengkhususkan puasa di bulan Rajab.
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
لم يرد في رجب على الخصوص سنة صحيحية ولا حسنة ولا ضعيفة ضعفا خفيفا بل جميع ما روى فيه على الخصوص أما موضوع مكذوب أو ضعيف شديد الضعف
“Tidak ada keutamaan (puasa) Rajab secara khusus dari hadits-hadits shahih, hasan, ataupun lemah (dla’if) dengan kelemahan yang ringan. Bahkan, seluruh hadits yang diriwayatkan tentang pengkhususan (puasa Rajab) adalah palsu lagi dusta atau lemah dengan kelemahan yang sangat parah” [As-Sailul-Jaraar, 1/297; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].
Jika ada yang sengaja berpuasa sunnah secara khusus di Rajab, maka salaf membencinya.
حدثنا أبو معاوية عن الاعمش عن وبرة بن عبد الرحمن عن خرشة بن الحر قال رأيت عمر يضرب أكف الناس في رجب حتى يضعوها في الجفان ويقول كلوا فإنما هو شهر كان يعظمه أهل الجاهلية
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Wabarah, dari ‘Abdurrahmaan, dari Kharasyah bin Al-Hurr, ia berkata : Aku pernah melihat ‘Umar memukul telapak tangan orang-orang di bulan Rajab hingga ia meletakkannya di mangkok besar (makanan). ‘Umar berkata : “Makanlah, karena ia (Rajab) adalah bulan yang dulu diagungkan orang-orang Jaahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/102; shahih li-ghairihi].[4]
حدثنا وكيع عن عاصم بن محمد عن أبيه قال كان ابن عمر إذا رأى الناس وما يعدون لرجب كره ذلك
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Aashim bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata : “Adalah Ibnu ‘Umar apabila ia melihat orang-orang dan apa-apa yang mereka khususkan pada bulan Rajab, maka ia membencinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/102; ].[5]
Tapi bukan berarti berpuasa di bulan Rajab menjadi terlarang. Telah lewat hadits yang menyatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ataupun berbuka di bulan Rajab. Mari kita simak penjelasan berikut :
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
ولم يثبت في صوم رجب نهي ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه. وفي سنن أبي داود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ندب إلى الصوم من الأشهر الحرم ورجب أحدها والله أعلم
“Tidak tsabit adanya larangan ataupun anjuran puasa khusus di bulan Rajab. Akan tetapi asal berpuasa di bulan tersebut adalah dianjurkan. Dalam Sunan Abi Daawud menyebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa di bulan-bulan Haram, sedangkan Rajab salah satu di antaranya. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahih Muslim].
Senada dengan An-Nawawiy adalah pendapat Ibnu Shalah rahimahullah.
Hadits yang dimaksudkan oleh An-Nawawiy di atas adalah :
حدثنا موسى بن إسماعيل ثنا حماد عن سعيد الجريري عن أبي السليل عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما أكلت طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Hammaad, dari Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abus-Saliil, dari Mujiibah Al-Baahiliyyah, dari ayahnya atau dari pamannya, bahwasannya ia datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kemudian pergi. Setelah itu, ia kembali datang kepada beliau setelah satu tahun, dan keadaan serta penampilannya telah berubah. Kemudian ia berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau mengenalku ?”. Beliau bertanya : "Siapakan engkau ?". Ia berkata : “Aku adalah Al-Baahiliy yang telah datang kepadamu setahun silam”. Beliau bersabda : "Apakah yang telah mengubahmu ? Padahal dulu penampilanmu baik". Ia berkata : “Aku tidak makan kecuali pada malam hari semenjak aku berpisah denganmu”. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kenapa engkau menyiksa dirimu ?". Lalu beliau meneruskan : "Berpuasalah pada bulan yang penuh kesabaran (Ramadlan), dan satu hari setiap bulan". Ia berkata : “Tambahkan untukku, karena sesungguhnya saya masih sanggup (lebih dari itu)”. Beliau bersabda : "Berpuasalah dua hari !". Ia berkata : “tambahkan untukku !”. Beliau bersabda : "Berpuasalah tiga hari !". Ia berkata : “Tambahkan untukku !”. Beliau bersabda : "Berpuasalah sebagian dari bulan-bulan Haram (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram)." Beliau mengatakannya dengan memberi isyarat dengan ketiga jarinya, beliau menggenggamnya kemudian membukanya [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2428].
Sayangnya, hadits ini tidak shahih. Mujiibah dalam sanad ini diperselisihkan :
1. Diperselisihkan apakah ia seorang laki-laki atau wanita. Ibnu Hajar saat menjelaskan biografi Abu Mujiibah menyebutkan perselisihan ini.
2. Diperselisihkan apakah ia berstatus shahabat atau bukan. Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (At-Tahriir, 3/349 no. 6491) berkata : “Dikatakan ia wanita dari kalangan shahabat”. Ia (Ibnu Hajar) menggunakan shighah tamridl yang tidak mengindikasikan satu pemastian darinya. Yang lebih nampak, ia bukanlah shahabat, karena status laki-laki atau perempuannya saja masih menjadi perselisihan. Selain itu, ia hanya memiliki satu hadits (yaitu hadits di atas) yang diriwayatkan oleh Abus-Saliil darinya; sehingga keadaannya adalah majhuul.
Selain itu, sanad riwayat ini juga mudltharib.
1. Abu Dawud (no. 2428), Ibnu Maajah (no. 1741) Al-Baihaqiy (4/291-292), Abu Nu’aim dalam Mu’jamush-Shahaabah (no. 7097), dan Ibnu Qaani’ dalam Mu’jamush-Shahaabah (2/93 no. 538) meriwayatkan : ‘dari Mujiibah Al-Baahiliyyah, dari ayahnya atau dari pamannya’.
2. An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (3/204 no. 2752) dan ‘Abd bin Humaid (1/325 no. 400) meriwayatkan : ‘dari Mujiibah Al-Baahiliy, dari pamannya’.
3. Ibnu Hajar (At-Tahdziib 4/29) menyebutkan bahwa ia juga diriwayatkan dari Abu Mujiibah, dari ayahnya, dari pamannya.
Meskipun begitu, telah shahih riwayat sebagian shahabat berpuasa di bulan-bulan Haram, seperti Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
عن معمر عن الزهري عن سالم أن بن عمر كان يصوم أشهر الحرم
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Saalim : Bahwasannya Ibnu ‘Umar berpuasa di bulan-bulan Haram [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7856; shahih].
Namun, mereka memakruhkan berpuasa sebulan penuh di bulan Rajab.
عن بن جريج عن عطاء قال كان بن عباس ينهى عن صيام رجب كله لأن لا يتخذ عيدا
Dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, ia berkata : “Ibnu ‘Abbaas melarang puasa Rajab secara penuh (dalam satu bulan) agar (bulan tersebut) tidak dijadikan sebagai ‘Ied” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7854; shahih].[6]
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
وعن ابن عباس: أنه كره أن يصام رجب كله وعن ابن عمر وابن عباس أنهما كانا يريان أن يفطر منه أياما وكرهه أنس أيضا وسعيد بن جبير وكره صيام رجب كله يحيى بن سعيد الأنصاري والإمام أحمد وقال: يفطر منه يوما أو يومين وحكاه عن ابن عمر وابن عباس وقال الشافعي في القديم: أكره أن يتخذ الرجل صوم شهر يكمله كما يكمل رمضان واحتج بحديث عائشة: ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل شهرا قط إلا رمضان.
“Dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia membenci berpuasa di bulan Rajab secara penuh. Dan dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbaas bahwa keduanya berpendapat orang yang berpuasa di bulan Rajab hendaknya berbuka dalam beberapa hari. Anas dan Sa’iid bin Jubair juga membencinya. Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshaariy dan Al-Imam Ahmad membenci puasa di bulan Rajab secara penuh. Ia (Ahmad) berkata : ‘Hendaknya berbuka sehari atau dua hari’ – dimana ia mengutipnya dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbaas. Asy-Syaafi’iy dalam al-qadiim berkata : ‘Aku membenci seseorang berpuasa satu bulan secara sempurna sebagaimana ia menyempurnakan Ramadlan’. Ia berhujjah dengan hadits ‘Aaisyah : ‘Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan pun selain bulan Ramadlan’…..” [Lathaaiful-Ma’aarif, hal. 119; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1424].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Alhamdulillah, tulisan singkat ini dapat diselesaikan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 1431 – perumahan ciomas permai].

[1] Ada satu riwayat sebagai berikut :
عن ابن عباس؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن صيام رجب.
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa di bulan Rajab [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1743, Ath-Thabaraaniy 10/348 no. 10681, dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 3814].
Sanad hadits ini lemah – bahkan sangat lemah, dengan letak kelemahan pada Daawud bin ‘Athaa’ Al-Muzanniy, Abu Sulaimaan Al-Makkiy.
Ahmad berkata : “Jangan meriwayatkan hadits darinya”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak ada apa-apanya”. Abu Haatim berkata : “Tidak kuat, dla’iiful-hadiits, munkarul-hadiits”. Al-Bukhaariy dan Abu Zur’ah berkata : “Munkarul-hadiits”. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Haditsnya tidak banyak, dan sebagian haditsnya terdapat pengingkaran”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Matruuk, termasuk penduduk Makkah”. Ibnu Hibbaan berkata : “Banyak keliru dalam khabar-khabar/hadits. Tidak boleh berhujjah karena banyaknya kekeliruan yang ada padanya”. Muslim berkata : “Dzaahibul-hadiits”.
[2] Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/231, Abu Ya’laa no. 2602, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 3799, dan yang lainnya.
[3] ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab Al-Qa’nabiy Al-Haaritsiy, seorang yang tsiqah lagi ahli ibadah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahihnya.
Malik, ia adalah Ibnu Anas; seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Abun-Nadlr, ia adalah Saalim bin Abi Umayyah Al-Qurasyiy At-Taimiy, seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun sering melakukan irsal. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Akan tetapi riwayatnya di sini bukan termasuk riwayat mursal-nya.
Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[4] Abu Mu’aawiyyah adalah Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, seorang yang tsiqah, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ia merupakan orang yang paling haafidh dalam periwayatan dari Al-A’masy.
Al-A’masy adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh, termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Akan tetapi masyhur melakukan tadlis, sedangkan di sini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah – sehingga riwayatnya lemah (dla’if).
Wabarah bin ‘Abdirrahman Al-Kuufiy Abu Khuzaimah, seorang yang tsiqah, termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Kharasyah bin Al-Hurr Al-Fazaariy, seorang yang tsiqah dari kalangan kibaarut-taabi’iin. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Al-A’masy mempunyai mutaba’ah dari Mis’ar dari Wabarah, dari Kharasyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur [Tabayyunul-‘Ujb oleh Ibnu Hajar, hal. 70] dan Ibnu Abi Syaibah [Musnad Al-Faaruq oleh Ibnu Katsiir, 1/285].
[5] Wakii’ bin Al-Jarraah, seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ahli ibadah.
‘Aashim bin Muhammad bin Zaid bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab, seorang yang tsiqah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Muhammad bin Zaid bin bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab, seorang yang tsiqah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[6] ‘An’anah Ibnu Juraij dari ‘Athaa’ – dan ia seorang mudallis – tidak memudlaratkannya. Ibnu Abi Khaitsamah membawakan satu riwayat shahih dari Ibnu Juraij, bahwa ia (Ibnu Juraij berkata) :
إذا قلت قال عطاء فأنا سمعته منه وإن لم أقل سمعت
“Apabila aku berkata : Telah berkata ‘Atha’ , maka artinya aku telah mendengarnya walau aku tidak mengatakan : Aku telah mendengar” [Tahdziibut-Tahdziib, 2/617 – biografi ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziz bin Juraij Al-Umawiy].
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah pun kemudian memberikan penegasan :
وهذه فائدة هامة جدا ، تدلنا على أن عنعنة ابن جريج عن عطاء في حكم السماع
“Ini satu faedah yang sangat besar, yang menunjukkan pada kita bahwa ‘an’anah Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dihukumi penyimakan (sama’)” [Irwaaul-Ghaliil, 4/244].

Abu al-Jauzaa'

Selasa, 02 Maret 2010

Bank Syariah, Kesejahteraan, UMKM, dan Pembalikan Piramida Ekonomi

Syariah diturunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya untuk membawa kebaikan bagi seluruh alam. Allah berfirman (yang artinya): “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS al-Anbiyā’ (para nabi)/21: 107) .

Al-Syāthibi (wafat 790 H), dalam magnum opus-nya, al-Muwāfaqāt, menyatakan bahwa tujuan dari eksistensi syariah (maqāshid al-syarī`ah) dapat disimpulkan dalam dua hal: mendatangkan maslahat dan menolak mudarat. Kedua hal ini selanjutnya diderivasikan dalam lima aspek mendasar (al-dharūriyyāt al-khams) yang dipelihara oleh syariah, yaitu: (1) hifzh al-dīn (pemeliharaan agama); (2) hifzh al-nafs (pemeliharaan jiwa/nyawa); (3) hifzh al-māl (pemeliharaan harta); (4) hifzh al-`aql (pemeliharaan akal/intelektual); dan (5) hifzh al-nasab (pemeliharaan nasab).

Ada sebagian ulama yang menambahkan aspek keenam, yaitu hifzh al-`irdh (pemeliharaan kehormatan). Seiring dengan perkembangan dan perubahan peradaban, ada pula dari kalangan ulama kontemporer yang menambahkan aspek pemeliharaan lingkungan hidup (hifzh al-bī-ah). Inilah gambaran umum (big picture) kemaslahatan sekaligus kebenaran transendental-universal yang diusung oleh syariah.

Ibn al-Qayyim (wafat 751 H) berkata, “Sesungguhnya bangunan dan pondasi syariah dibangun di atas hikmah dan kemaslahatan para hamba, baik di dunia maupun akhirat. Seluruh syariah adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah. Dengan demikian, setiap perkara yang keluar dari keadilan kepada kezaliman, dari maslahat kepada kerusakan, dari hikmah kepada kesia-siaan, dan dari rahmat kepada antipodenya, maka ia bukan termasuk syariah, meskipun ia dimasukkan (oleh sebagian orang) ke dalam syariah dengan metode takwil (yang keliru).” (Lihat: I`lām al-Muwaqqi`īn `an Rabb al-`Ālamīn, vol. III, hlm. 3, Dār al-Jīl, Beirut, 1973.)

Salah satu maslahat terpenting yang menjadi tujuan syariah adalah kesejahteraan sosial. Banyak sekali ayat Quran yang menyebutkan tema ini. Tidak kurang dari 69 (enam puluh sembilan) ayat Quran yang secara literal mengandung kata ‘miskin’ berikut derivasinya seperti faqīr, ba’s, sāil, qāni`, mu`tarr, dha`īf, dan lain-lain. Jumlah ayat akan jauh lebih besar apabila ayat-ayat yang secara kontekstual membahas tentang kemisikinan namun tidak mengandung kata-kata miskin dan turunannya diperhitungkan. Selain itu, terdapat tidak kurang dari 42 (empat puluh dua) ayat Quran yang secara eksplisit membahas tentang zakat. Jumlah ayat tersebut di atas jauh lebih banyak dibandingkan ayat yang berbicara tentang larangan riba (7 ayat) dan maisir atau perjudian (3 ayat). (Lihat: al-Mu`jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Fuād `Abd al-Bāqi dan Fiqh al-Zakāh, karya Prof. Dr. Yūsuf al-Qaradhāwi.)

Tujuan syariah untuk menciptakan kesejahteraan sosial ini seharusnya menjadi ruh dan spirit bagi industri perbankan syariah selaku institusi yang menisbatkan dirinya kepada syariah. Dengan demikian, bank syariah bukanlah bank yang hanya sekedar concern dengan aspek legal-formal yang dirumuskan dengan larangan “maghrib”—yang merupakan akronim dari maisīr (judi), gharar (spekulasi) dan ribā (usury). Namun lebih daripada itu, bank syariah adalah industri keuangan yang ter-shibghah dengan semangat peningkatan kesejahteraan sosial sebagai pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan universal (habl minannās) dalam rangka peribadahan dan pengabdian kepada-Nya (habl minallāh).

Semangat menciptakan kesejahteraan sosial direpresentasikan oleh industri perbankan setidaknya dalam dua hal: tingkat FDR/LDR (Financing/Loan to Deposit Ratio) yang tinggi dan keberpihakan kepada sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). FDR/LDR adalah rasio yang menjelaskan tentang seberapa tinggi bank syariah/konvensional mampu menyalurkan dana yang telah dihimpunnya dari masyarakat ke sektor riil (financial intermediary function). FDR/LDR yang semakin tinggi menyebabkan sektor perekonomian berjalan semakin baik dan pada akhirnya kesejahteraan menjadi semakin meningkat.

FDR/LDR bank syariah dari tahun ke tahun senantiasa lebih tinggi dibandingkan bank konvensional. Pada tahun 2008, FDR/LDR bank syariah adalah sebesar 103,34% dibandingkan bank konvensional sebesar 74,58%. Per Agustus 2009, FDR/LDR bank syariah mengalami penurunan, yaitu menjadi 99,71%, namun masih tetap lebih tinggi dibandingkan bank konvensional yang FDR/LDR-nya sebesar 73,95%, yang juga mengalami penurunan dibandingan sebelumnya. (Source: situs resmi Bank Indonesia: http://www.bi.go.id.)

Dengan demikian, bank syariah menghindari hal-hal spekulatif (gharar) yang menyebabkan bubble economy, sehingga memiliki kecenderungan yang lebih untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor riil. Hal ini berkontribusi positif pada peningkatan Gross Domestic Product (GDP) dan kesejahteraan sosial.

Hal lain yang diusung oleh bank syariah dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial adalah concern terhadap sektor UMKM yang merupakan bottom of the pyramid (meminjam istilah C.K. Prahalad dalam bukunya, The Fortune At The Bottom of The Pyramid) dalam sektor perekonomian di Indonesia. Ketangguhan sektor UMKM dalam menghadapi perubahan kondisi ekonomi sudah terbukti. Sektor ini tetap tumbuh selama masa krisis. Dari tahun ke tahun, jumlah pengusaha yang terjun dalam sektor ini terus meningkat sehingga UMKM dan menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia.

UMKM memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap GDP nasional. Pada tahun 2007, dari total GDP nasional yang mencapai angka Rp 3.957,4 triliun, UMKM menyumbangkan sebesar Rp 2.121,3 triliun. Angka ini naik dari total GDP yang disumbangkan UMKM pada tahun 2006 sebesar Rp 1.786,2 triliun.

Peran sektor UMKM dalam menyerap tenaga kerja juga sangat signifikan. Selama 2004, sektor ini mampu menyerap hampir 97% tenaga kerja yang tersedia. Dan, pada tahun 2009 pertumbuhan UMKM mencapai 10%. Ini disebabkan oleh tingginya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis keuangan global yang membuat para pekerja beralih profesi menjadi wirausahawan.

Peran UMKM dalam perkembangan perekomomian nasional sangat penting, namun sektor ini masih memiliki kendala dalam hal legalitas, sumber daya manusia (SDM), rendahnya produktivitas, dan khususnya permodalan. (Source: situs resmi Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia: http://www.depkop.go.id.)

Bank syariah memiliki perhatian besar dalam hal pemberian modal kepada sektor UMKM. Hal ini dikarenakan bank syariah berupaya melakukan flipping up the pyramid (pembalikan piramida ekonomi; meminjam istilah Direktur Utama PT Bank Syariah Mandiri (BSM), Bp. Yuslam Fauzi, dalam sebagian ceramahnya). Per Agustus 2009, porsi pembiayaan UMKM perbankan nasional adalah sebesar 50,7%, sedangkan porsi pembiayaan UMKM bank syariah sebesar 72,8%. (Source: Situs resmi Bank Indonesia: http://www.bi.go.id.)

Pembalikan piramida ekonomi bukanlah suatu utopia. Hal ini sudah pernah terjadi dalam catatan sejarah, misalnya pada zaman kekhalifahan `Umar ibn `Abd al-`Azīz. Pada saat itu, hampir-hampir tidak ada dan tidak ditemukan orang yang mau menerima zakat (mustahiqq).

Akhir kata, semoga bank syariah tetap berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, sebagaimana tujuan dari eksistensi syariah itu sendiri, yaitu dengan cara menjalan fungsinya sebagai financial intermediary dengan baik dan fokus kepada sektor UMKM.

Salam,

adni kurniawan

Kalangan Shari'a Minded : Peluang ataukah Kendala bagi Bank Syariah??

Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah (GSP3S), yang merupakan strategi pemasaran hasil racikan Bank Indonesia (BI) berdasarkan hasil analisa mendalam terhadap peta target market perbankan syariah dan berbagai faktor strategis, telah mengungkap 5 (lima) segmen pasar berdasarkan orientasi perbankan syariah dan profil psikografisnya: (1) mereka yang sangat mengutamakan penggunaan bank syariah (“pokoknya syariah”); (2) mereka yang ikut-ikutan; (3) mereka yang mengutamakan benefit seperti kepraktisan transaksi dan kemudahan akses; (4) mereka yang menggunakan bank syariah sebagai sarana pembayaran gaji dan transaksi bisnis; dan (5) mereka yang mengutamakan penggunaan jasa bank konvensional. Riset pasar dalam GSP3S juga mengungkap bahwa pengguna pasar perbankan syariah cenderung bersikap pragmatis (sumber: Situs resmi BI: http://www.bi.go.id).

Berdasarkan paparan di atas, secara lebih sederhana mungkin dapat dikatakan bahwa terdapat 2 (dua) parameter yang menentukan apakah seseorang itu memilih atau meninggalkan bank syariah, yaitu: benefit dan aspek kesyariahan. Dengan isu kesyariahan, segmen pasar dapat digolongkan menjadi tiga: (1) mereka yang resisten dan “anti” terhadap hal-hal yang “berbau” syariah; (2) mereka yang bersifat sharia minded atau sangat concern dengan aspek kesyariahan; dan (3) mereka yang bersifat apatis-pragmatis, di mana bagi mereka yang terpenting adalah benefit terbaik yang dapat mereka peroleh, tidak peduli apakah itu sumbernya dari bank syariah atau konvensional.

Sebagian pembahas beranggapan bahwa golongan sharia minded akan cenderung untuk menggunakan bank syariah. Namun, tampaknya anggapan ini merupakan kesimpulan prematur yang kurang tepat karena terkadang tidak sejalan dengan realita. Golongan sharia minded ini secara umum dapat dikategorisasi lagi menjadi dua: konservatif dan moderat. Penyebutan “konservatif” di sini mungkin tidak selalu tepat dan tidak diridhai alias akan menyinggung sebagian pihak, dan untuk itu saya mohon maaf sebelumnya, namun ini tetap saya lakukan untuk mempermudah dan menyederhanakan penjelasan.

Golongan yang moderat memang cenderung untuk menggunakan bank syariah, namun tidak demikian halnya dengan golongan konservatif. Penilaian golongan konservatif bahwa masih terdapat kekurangan di sana-sini dalam pemenuhan aspek kesyariahan oleh bank syariah sering berujung pada satu kesimpulan bahwa bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional. Sebagian mereka dengan “tega” bahkan menyatakan bahwa penggunaan bank konvensional yang menurut mereka status keharamannya jelas masih lebih baik ketimbang bank syariah yang sifatnya “musang berbulu domba” (sekali lagi: menurut mereka). Dengan demikian, hasil akhir dari golongan syariah konservatif adalah sama dengan golongan yang “anti” syariah, yaitu ketidaksetujuan terhadap eksistensi bank syariah. Ketidaksetujuan tersebut terkadang diekspresikan dalam bentuk black campaign terhadap perbankan syariah, baik secara lisan maupun tulisan. Cukup ironis memang.

Meskipun demikian, ketidaksetujuan golongan ini bukan tidak beralasan. Sebab, karakter fiqh dalam syariah yang memungkinkan perbedaan pendapat dan interpretasi. Syariah dalam banyak hal (khususnya yang berkaitan aspek legal-fiqh) bukanlah ilmu pasti seperti halnya matematika, namun merupakan ilmu relatif-subjektif. Perbedaan pendapat dalam fiqh ini bahkan menyebabkan perbedaan operasional antara bank syariah satu sama lain. Misalnya, bank syariah di Indonesia tidak diperkenankan melakukan bisnis berbasis bay` al-`iinah karena dinilai tidak sesuai syariah oleh ulama yang tergabung dalam Dewan Syariah Nasional (DSN), sementara bank syariah di Malaysia diperkenankan melakukan hal tersebut, karena otoritas kesyariahan di sana menilai bahwa hal itu memungkinkan untuk diakomodasi secara syariah.

Saya beberapa kali mendapat pertanyaan dari golongan syariah konservatif: “Apakah bank syariah memang sudah sesuai dengan syariah?” Menanggapi pertanyaan semacam ini, saya justru melontarkan pertanyaan balik yang sifatnya retoris: “Syariah berdasarkan perspektif manakah yang dimaksud?” Saya lalu memberi contoh dengan kasus bay` al-taqsiith (jual beli secara kredit). Yang dimaksud dengan bay` al-taqsiith di sini adalah jual beli barang dengan pembayaran tunda dan dengan cara mencicil sampai periode tertentu, di mana harga barang tersebut lebih mahal apabila dibandingkan dengan harga jual beli secara kontan.

Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi bay` al-taqsiith tersebut. Mayoritas (jumhuur) ulama menilai bahwa hal tersebut hukumnya boleh, sedangkan ada sebagian kecil ulama yang memandang bahwa hal itu terlarang dan termasuk riba. Jika demikian halnya, maka apakah bay` al-taqsiith itu sesuai syariah? Jawabannya relatif, tergantung dari aliran fiqh ulama mana yang dipilih. Bagi yang sependapat dengan mayoritas ulama, maka tentu hal itu sesuai dengan syariah.

Intinya, saya ingin menyampaikan bahwa sebagian kalangan yang berorientasi kesyariahan (sharia minded) itu merupakan barrier bagi pengembangan industri perbankan syariah, dan bukan merupakan peluang. Untuk menghadapi kalangan yang dimaksud diperlukan approach secara persuasif-argumentatif agar mereka mau bertransformasi sikap dari “memusuhi” menjadi pro bank syariah, atau agar setidaknya mereka lebih toleran dalam menyikapi kehadiran bank syariah, minimal mereka tidak melakukan black campaign yang merugikan bank syariah. Dan, approach tersebut tentunya membutuhkan effort yang cukup besar.

Salam,

Penulis adalah al Akh Adni Kurniawan-semoga Allah senantiasa menjaga diri dan keluarganya dalam ridha-Nya

Shari'a Compliant Vs Shari'a Based

Tidak diragukan lagi bahwa saat ini perkembangan industri keuangan Islam dunia dimotori oleh produk yang berbasis shari’a compliant. Namun, agar industri keuangan Islam bisa berkembang lebih pesat ke arah yang positif dan memenuhi tuntutan shari’a industri yang umurnya masih muda ini memerlukan produk yang berbasis shari’a based.

Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis akan memaparkan persamaan dan juga perbedaan antara shari’a compliant dan shari’a based. Di samping itu pentingnya produk yang berbasis shari’a based bagi industri keuangan Islam dunia. Khususnya Indonesia.

Ada satu persamaan antara shari’a compliant dan shari’a based yaitu terletak pada terpenuhinya rukun kontrak atau aqad sesuai dengan ketentuan shari’a. Rukun tersebut adalah adanya penjual, pembeli, barang yang diperdagangkan (mauqud alaihi), harga (thaman), dan serah terima (ijab qabul).

Biasanya rukun ini didokumentasikan oleh para penasihat keuangan shari’a di bank shari’a untuk menyetujui produk tertentu. Tidak terpenuhi salah satu komponen dalam rukun tersebut menyebabkan tidak sahnya kontrak tersebut (void).

Namun, ada dua perbedaan penting yang mendasar antara produk shari’a compliant dan shari’a based. Pertama, shari’a compliant product bentuk (form)-nya halal atau legal dalam perspektif shari’a. Tetapi, substansinya (substance)-nya belum tentu halal.

Bisa jadi 80% halal, 40% halal, bahkan 0% halal! Sedangkan shari’a based product tidak hanya form-nya halal. Tetapi, substansinya juga halal dan dijamin 100% halal. Sayangnya mayoritas produk bank shari’a secara global masih pada tahapan shari’a compliant. Belum sampai pada tahapan shari’a based.

Hal ini bisa terlihat pada kontrak Bay Al Inah (sell and buy back contract) dan versi pihak ketiganya. Tawarruq (tripartite sale) yang masih marak digunakan oleh bank shari’a di berbagai belahan dunia. Kontrak Bay Al Inah biasanya digunakan pada produk Bay Bithaman Ajil (BBA) home financing, personal financing, dan kontrak Tawarruq biasanya digunakan pada working capital financing, Islamic hedge funds melalui commodity murabahah.

Di sini penulis tidak menjelaskan secara detail tentang proses tersebut. Tetapi, inti dari kontrak tersebut. Inti dari kontrak tersebut adalah secara form adanya kontrak jual-beli
antara customer dan bank yang mana terlihat halal. Tetapi, secara substansi tidak ada perpindahan barang dari salah satu pihak di dalam kontrak tersebut.

Dalam kata lain substansi kontrak tersebut adalah kontrak pinjaman uang (debt contract) yang sama sekali tidak berbeda dengan produk bank konvensional dan haram dalam perspektif shari’a. Inilah yang disebut samaran/ replikasi produk bank konvesional dengan label Islam yang masih diperdebatkan dalam kalangan penasihat keuangan shari’a dan ulama di industri keuangan Islam.

Sebenarnya kontrak tersebut masih tidak bisa dikatakan shari’a compliant. Tetapi, inilah jargon yang diklaim oleh penasihat keuangan shari’a dalam menyetujui produk tersebut. Oleh karena itu untuk membedakan mana produk yang halal dan haram adanya jargon shari’a based.

Produk shari’a based adalah produk yang dasar (base)-nya sumber hukum Islam yaitu Al Quran dan As Sunnah atau dalam kata lain murni mematuhi sumber hukum Islam. Oleh karena itu produk shari’a based ini dijamin 100% halal dan sangat dicintai oleh pakar ekonomi Islam seperti Nejatullah Shidiqi, Umer Chapra, dan shari’a scholars yang idealis seperti Wahbah Al-Zuhayli.

Kontrak yang berlandaskan shari’a based ini adalah jual beli di mana jelas ada perpindahan barang dari penjual ke pembeli sesuai harga yang disepakati, Musharakah, dan Mudharabah (joint venture partnership). Pada kontrak ini adanya risk sharing di antara pihak yang bersangkutan dan sistem bagi hasil.

Di samping itu juga ada Salam. Pembeli memesan komoditas untuk diserahkan setelah beberapa bulan oleh produsen dengan membayar harga komoditas di awal kontrak.

Penerapan kontrak Musharakah bisa terlihat pada produk Musharakah Mutanaqisah untuk pembiayaan rumah yang mulai diterapkan oleh beberapa bank shari’a. Customer dan bank sama-sama mempunyai hak milik di awal kontrak (joint ownership) dan secara berturut-turut kepemilikan rumah tersebut berpindah kepada customer dengan membayar uang sewa (rental payment) berdasarkan daerah setempat dengan menggunakan kontrak sewa (ijarah).

Produk ini sudah diterapkan oleh berberapa bank shari’a seperti RHB Islamic Bank Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia. Demikian pula Salam. Kontrak ini bisa melindungi petani atau wong cilik dari fluktuasi harga hasil panen mereka secara harga panen dibayar di awal kontrak oleh sang pembeli atau distributor. Menariknya kontrak Salam ini sebenarnya berpotensi untuk diinovasikan menjadi alat mitigasi risiko bagi bank shari’a dan investor.

Perbedaan yang kedua adalah objektif Shari’a (Maqasid Al Shari’ah). Shari’a compliant belum tentu mempunyai unsur maslahah seperti tertuang dalam objektif shari’a. Sedangkan shari’a based sudah pasti mempunyai unsur maslahah. Hal ini bisa terlihat pada shari’a compliant stock investment Islamic Hedge Funds.

Perputaran uangnya masih berputar di antara investor dan sektor keuangan. Atau dalam kata lain belum ada kontribusi terhadap sektor riil di ekonomi dan masih rentan dengan spekulasi di pasar modal. Di dalam shari’a based produk seperti musharakah/ mudharabah sukuk (surat obligasi shari’a), Islamic microfinance berdasarkan kontrak musharakah/ mudharabah mempunyai potensi sangat besar untuk kontribusi terhadap sektor riil di ekonomi dikarenakan produk tersebut berdasarkan real asset. Namun, sayangnya Industri keuangan Shari’a dunia masih enggan menggunakan produk shari’a based.

Pertumbuhan Keuangan Islam di Indonesia: Shari’a Compliant atau Shari’a Based
Penulis sangat bersyukur bahwa pertumbuhan keuangan Islam di Indonesia saat ini bisa dikatakan shari’a based growth. Hal ini dikarenakan Bank Shari’a Indonesia tidak menggunakan kontrak ‘inah/ tawarruq secara Dewan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Bank Indonesia (BI) tidak memperbolehkan kontrak tersebut digunakan. Walaupun efeknya pertumbuhan perbankan shari’a di Indonesia hanya berkisar 2%-3%.

Perbankan shari’a di Indonesia bisa tumbuh dengan sehat dan halal. Namun, di sini penulis juga menghimbau agar Indonesia juga berhati-hati dalam mengeluarkan sukuk ritelnya. Jangan sampai kontrak yang digunakan sama dengan kontrak yang digunakan untuk mengeluarkan surat berharga konvensional. Sangat disarankan kontrak yang digunakan adalah kontrak Musharakah/ Mudharabah. Kontrak ini adalah shari’a based dan bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor riil di Indonesia.

Akhir kata penulis berharap bahwa tidak hanya Indonesia saja yang bisa menggunakan produk shari’a based. Tetapi, juga negara lain yang mempunyai sektor keuangan Islam juga bisa menggunakan produk shari’a based. Walaupun untuk mencapai tahapan itu sepertinya akan memakan waktu yang lama. Semoga Indonesia bisa menjadi perintis untuk mencapai tahapan tersebut. Wallahualam.

Jhordy Kashoogie Nazar

nazar.jhordyk@gmail.com

Penulis adalah kandidat Master Islamic Finance, Durham Islamic Finance Program (DIFP), Durham University, Anggota Islamic Economics Forum for Indonesian Development (ISEFID).