Powered By Blogger

Kamis, 12 November 2009

Akhlaq terhadap Allah Subhaanahu wa Ta'ala

Akhlaq terhadap Allah SWT

I. Definisi Akhlaq

Akhlaq berasal dari bahasa Arab أخلاق (akhlaq) yang merupakan bentuk jama’(plural) dari kata خلق (khuluq). Secara bahasa akhlaq mempunyai arti budi pekerti, tabiat, watak. Dalam kebahasaan akhlaq sering disinonimkan dengan moral atau etika.
Al-Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlaq dengan artian :
اَلأَخْلاَقُ هِيَ صِفَةٌ رَاسِخَةٌ فِيْ الْقَلْبِ تَصْدُرُ عَنْهَا أَفْعَالٌ بِسُهُوْلَةٍ وَتَسِيْرُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَىْ فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
“Akhlaq adalah segala sifat yang tertanam di dalam hati, yang dapat menimbulkan segala macam perbuatan yang ringan dan mudah tanpa memerlukan sebuah pemikiran sebagai pertimbangan”.

Dari definisi tersebut dapat kita tarik kesimpulan :
• Bahwa akhlaq berpangkal pada hati, jiwa atau kehendak, yang kemudian
• Diwujudkan dalam amal perbuatan sebagai kebiasaan(bukan perbuatan yang di buat-buat akan tetapi yang sewajarnya).

Dengan demikian untuk meraih kesempurnaan akhlaq, seseorang harus melatih diri dan membiasakannya di dalam hidupnya sehari-hari. Seseorang harus berlatih dan membiasakan diri berfikir dan berkehendak baik, serta membiasakan mewujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan cara yang demikian seorang muslim akan memperoleh kesempurnaan akhlaq, sebab akhlaq seseorang bukanlah tindakan yang direncanakan pada saat-saat tertentu saja, namun akhlaq merupakan keutuhan kehendak dan perbuatan yang melekat pada seseorang, yang akan nampak pada perilakunya sehari-hari.

Pedoman akhlaq di dalam Islam
Karena akhlaq adalah kehendak dan perbuatan seseorang, maka pedoman akhlaqpun bermacam-macam. Hal ini terjadi karena seseorang mempunyai kehendak yang bersumber dan berlandaskan dari berbagai macam acuan, bergantung kepada lingkungan, pengetahuan, atau pengalaman orang tersebut. Seseorang yang berkehendak menolong orang misalnya, ia mempunyai alasan atau pedoman, sehingga orang tersebut bersedia dan berkehendak untuk melakukan tindakan pertolongan tersebut.
Demikian pula perbuatan seseorang terwujud tentunya didasari berbagai sumber atau acuan yang berbeda-beda. Bagi seorang muslim tentunya akan menjadikan pedoman sumber akhlaq mereka adalah dari agama Islam.
Islam sebagai agama yang bersumber pada wahyu memiliki seperangkat bimbingan bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan dalam perjalanan hidup di dunia dan akhirat. Akhlaq dalam kehidupan manusia adalah faktor yang sangat penting dalam Islam. Oleh karena itu sumber ajaran Islam tidak luput memuat akhlaq sebagai sisi penting dalan kehidupan manusia. Pedoman akhlaq di dalam Islam tidak dapat lepas dari wahyu Ilahi (al-Quran) dan al-Sunnah yang shahihah.
a. al-Quran
al-Quran sebagai pedoman utama di dalam agama Islam mengandung bimbingan, petunjuk, penjelas dan pembeda antara perkara yang haq dan yang bathil. Al-Quran memuat bimbingan yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah Ta’ala. Sebagai contoh Allah memberikan bimbingan kepada makhluq-Nya apabila ingin memohon pertolongan, sebagaimana disebuykan di sebuah ayat:
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
“dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan melalui sabar dan shalat”.(Q.S. al-Baqarah : 45)

b. al-Sunnah
al-Sunnah adalah salah satu rujukan pedoman di dalam Islam setelah al-Quran al-Karim. Dalam al-Quran disebutkan :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(Q.S. al-Ahzab : 21)

hal ini juga mengukuhkan tentang risalah kenabian Rasulullah SAW, Rasulullah SAW diutus oleh Allah di muka bumi ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq. Sebagaimana dalam ayat lain disebutkan :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
” Dan sesungguhnya kamu(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(Q.S. Qalam : 4)

dalam sebuah sabda beliau SAW disebutkan :
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ اَلأَخْلاَقِ
“Bahwasanya aku(Muhammad) diutus adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq”. (H.R. Ahmad)

Rasulullah SAW adalah salah satu sumber akhlaq di dalam Islam, karena beliau adalah contoh konkrit pelaksanaan wahyu Allah yang tertuang di dalam al-Quran. Segala ucapan, tingkah laku, sopan santun Rasulullah adalah suri tauladan bagi umat Muhammad SAW dalam melaksanakan dan mengimplementasikan al-Quran.

Akhlaq terhadap Allah Ta’ala

Inti akhlaq seorang hamba kepada Allah ta’ala adalah sebagaimana tertuang di dalam ayat :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.(Q.S. al-Dzariyat : 56)
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (Q.S. al-Nisa : 36)
وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.(Q.S. al-Hajj : 77)

Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah SAW pernah beliau bersabda kepada Mu’adz ibn Jabal :
هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya dan apakah hak hamba-Nya kepada Allah?, di jawab oleh Mu’adz : Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, Kemudian beliau SAW bersabda : “Sesungguhnya hak Allah atas hamba-Nya adalah hendaknya seorang hamba senantiasa bertauhid dalam beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan hak seorang hamba kepada Allah adalah sesungguhnya Allah tidak akan memberikan adzab-Nya bagi hamba yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”. (H.S.R al-Bukhari )

dari penggalan ayat dan al-Sunnah di atas dapat kita petik sebuah pelajaran bahwa akhlaq seorang hamba kepada Allah adalah :
1. Hendaknya seorang hamba senantiasa mentauhidkan Allah dalam masalah ibadah
2. Seorang hamba tidak menjadikan selain Allah sesembahan yang lain disisi Allah Ta’ala dan menjaga diri mereka dari dosa syirik kepada Allah Ta’ala.


Takwa
Takwa adalah sebuah wasiat yang sangat agung, sebuah wasiat yang senantiasa diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang terdahulu hingga yang akan datang. Sekian banyak definisi takwa diberikan oleh para salaf, diantaranya :
Hasan al-Bashri mengatakan :
المتقون : اتَّقَوْا ما حُرِّمَ عليهم , وأَدَّوْا ما افْتُرِض عليهم
“Orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa menjaga dari apa-apa yang diharamkan untuknya, dan menunaikan apa-apa yang telah diwajibkan atas diri mereka”

Umar ibn Abdul Aziz menyampaikan: “Bukanlah yang dinamakan bertakwa kepada Allah hanya semata dengan mengerjakan puasa di siang hari, atau mengerjakan shalat malam, atau bahkan mengerjakan diantara keduanya, akan tetapi takwa adalah :
تَرْكُ مَا حَرَّمَ اللهُ , وَأَدَاءُ مَا اْفتَرَضَ اللهُ
“Meninggalkan apa-apa yang telah dilarang oleh Allah, dan mengerjakan apa-apa yang telah Allah wajibkan atasnya”.

Talqu ibn Habib mendefinisikan takwa dengan :
التَّقْوَى أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ , وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ الله تَخَافُ عِقَابَ اللهِ
“Takwa adalah engkau mengerjakan ketaatan kepada Allah atas naungan cahaya dari Allah dalam rangka mengharap pahala/balasan Allah, dan engkau tinggalkan maksiat kepada Allah atas naungan cahaya dari Allah dalam rangka takut akan adzab Allah.

Salah seorang sahabat Abdullah ibn Mas’ud ketika menafsirkan ayat :
اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Bertaqwalah kalian dengan sebenar-benar taqwa”.(Q.S.Ali Imran : 103)
Beliau menuturkan penjelasan makna takwa di atas dengan ucapan beliau :
أَنْ يُطاعَ, فَلاَ يُعْصَى , وَيُذْكَر , فَلاَ يُنْسَى , وَأن يُشْكَر , فَلاَ يُكْفَر
“Hendaknya Allah senantiasa ditaati tidak dimaksiati, senantiasa di ingat tidak dilupakan, dan senantiasa disyukuri dan tidak dikufuri.”

Dari kesemua definisi di atas dapat kita simpulkan definisi takwa adalah :
1. Senantiasa mengerjakan kewajiban ketaatan kepada Allah diiringi dengan cahaya ilmu dalam mengerjakan ketaatannya tersebut, serta
2. Senantiasa menjauhi larangan yang telah Allah tetapkan, diiringi dengan cahaya ilmu dalam menjauhi larangan tersebut.

Sekian banyak wasiat Allah kepada seluruh hamba-Nya agar mereka senantiasa bertakwa kepada-Nya, bahkan wasiat ini berlaku bagi orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Allah berfirman :
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ
Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. (Q.S. al-Nisa : 131)

Allah juga memberikan jaminan bahwa Dia akan senantiasa menyertai orang-orang yang beriman dan bertakwa,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”. (Q.S. al-Nahl : 128)
Takwa adalah bekal bagi setiap makhluq pada hari kiamat kelak, dan gambaran bagi orang yang beriman agar senantiasa mempersiapkan bekal mereka sebelum hari akhir kelak, dalam firman-Nya Allah menyebutkan :
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.(Q.S. al-Baqarah : 197)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Hasyr : 18)

Allah juga memberikan jaminan bagi orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa akan sebuah musibah dan kesusahan, Allah akan memberikan kepada mereka jalan keluar, demikian pula Allah akan mencukupi rezeki mereka :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”. (Q.S. al-Thalaq : 2,3)

Dalam sebuah hadits disebutkan oleh Rasulullah SAW :
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dimana saja kalian berada, dan ikutilah perbuatan jahat yang telah kalian lakukan dengan perbuatan baik, niscaya dapat menghapuskannya(kejelekan kalian), dan pergauilah manusia dengan perangai yang baik lagi mulia”. (H.S.R. Tirmidzi).

Pentingnya penanaman ketakwaan dalam diri setiap muslim dimanapum mereka berada, hal ini menunjukkan bahwa ketakwaan di dalam agama Islam tidak hanya terbatas ketika seseorang muslim sedang memasuki atau berada di dalam masjid saja. Akan tetapi ketakwaan di dalam Islam sangatlah luas cakupannya, tidak terbatas hanya pada lingkungan masjid semata. Islam juga menyeru umatnya agar senantiasa berbuat kebajikan untuk menambah ketakwaan dan ketaatan mereka kepada Allah Ta’ala, dan menyeru kepada akhlaq yang mulia.

Rasulullah SAW tidak pernah lepas dari memohon kepada Allah agar beliau senantiasa diberikan ketakwaan dan keteguhan dalam imannya, ada sebuah riwayat yang menyebutkan tentang sebuah doa yang senantiasa dibaca oleh beliau :
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَىْ وَالتُّقَى وَالْعِفَّةَ وَالْغِنَىْ
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu al-Huda(petunjuk), dan ketakwaan, kehormatan, dan kekayaan”.(H.S.R. Muslim dari sahabat Abdullah ibn Mas’ud)

Cinta dan ridha
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan sepenuh semangat kasih sayang. Cinta dengan pengertian yangdemikian syudah merupakan fitrah yang dimiliki setiap orang. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta itu pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya hingga terwujud dengan mulia. Bagi orang yang beriman, cinta yang pertama dan paling utama adalah kecintaan yang ada pada diri mereka dan hanya ditujukan kepada Allah semata. Kecintaannya kepada Allah melebihi kecintaannya kepada selain-Nya. Sebagaimana disebutkan :
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (Q.S. al-Baqarah : 165)
Ia mencintai Allah di atas segala galanya karena didorong oleh sebuah kesadaran diri bahwasanya Allah yang telah menciptakan alam beserta isinya, dan ia adalah bagian dari alam tersebut. Sejalan dengan cintanya kepada Allah, orang yang beriman akan mencintai Rasulullah  dan berjuang di dalam menegakkan agama Allah.
Konsekuensi cinta kepada Allah adalah mengikuti semua yang diajarkan oleh Rasulullah  , Allah befirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. ali Imran : 31)
Disamping secara khusus dijelaskan oleh Allah, bahwa Dia juga memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang dengan sifat dan amalan terttentu. Sebagaimana Allah mencintai orang yang berbuat ihsan(Q,S. al-Baqarah : 195), bertaubat(Q.S. al-Baqarah : 222), bertakwa (Q.S. ali Imran : 76), dan lain sebagainya dari sekian banyak sifat dan amalan terpuji yang dilakukan oleh seorang hamba.
Sejalan dengan cinta, seorang muslim harus dapat bersikap ridha terhadap segala aturan dan keputusan Allah  . Artinya ia harus dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yangdatang dari Allah dan rasul-Nya, baik yang beupa perintah ataupun larangan. Ia ridha karena ia mengetahui bahwa dirinya sangat mencintai Allah dan yakin bahwasanya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Mengetahui segala-galanya, Maha Bijak dan Benar, tidaklah mungkin Allah membuat perintah dan larangan yang tidak sesuai atau merugikan umat manusia.
Dengan demikian kita dapat menerima segala qadha dan qadar dari Allah ta’ala. Dengan cinta kita mengharapkan ridha-Nya, dengan ridha kita mengharapkan cinta-Nya.



Ikhlash
Ikhlas adalah melakukan amal perbuatan(kebajikan) hanya mengharap balasan pahala dari Allah semata, bukan kepada yang lain. Dan ikhlas ini adalah salah satu syarat dari dua syarat diterimanya sebuah amal perbuatan seseorang. Kemudian syarat yang kedua adalah benar dalam beramal, yang memiliki pengertian suatu amalan yang didasari atas ilmu yang benar berdasarkan sunnah Rasulullah SAW.
Dasar ikhlas diantaranya adalah firman Allah :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(Q.S. al-Bayyinah : 5)
Allah menjelaskan dalam ayat yang mulia di atas bahwasanya Ia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa mentauhidkan-Nya dalam masalah peribadahan, dan melarang dari menyembah yang selain-Nya. Agama Islam adalah agama hanif agama bagi umat yang lurus di atas al-haq, dan inilah yang akan membedakan umat Islam atas apa yang ada pada diri mereka dalam masalah aqidah dan akhlaq dengan umat kafir yang lainnya.
Diantaranya pula firman Allah yang lain :
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Q.S. al-Hajj : 37).

Sebuah penjelasan dari Allah Ta’ala bahwasanya ketika Allah mensyariatkan kurban, adalah bertujuan agar hamba-Nya selalu ingat atas rizqi yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala. Dan agar mereka senantiasa ingat bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Pemberi Rizqi, tidaklah darah dan daging yang mereka persembahkan kepada Allah sampai kepada-Nya, karena Allah adalah Dzat yang Maha memberi makan dan tidak membutuhkan makanan. Dia-lah Allah Yang Maha Kaya atas segala sesuatu.

Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu“.(Q.S. ali Imran : 29).

Allah adalah Dzat Yang Maha Tahu atas segala sesuatu baik itu yang nampak oleh mata ataupun apa-apa yang berada di dalam hati para hamba-Nya, dan ilmu Allah adalah meliputi segala sesuatu dalam peri kehidupan hamba-hamba-Nya. Semua perkara yang ada di muka bumi, terpendam di dalam bumi , dalam setiap langkah waktu, zaman, kesemuanya diketahui oleh Allah. Inilah peringatan yang jelas dari Allah ta’ala kepada segenap hamba-Nya agar mereka senantiasa takut dalam melaksanakan perkara-perkara yang telah di larang oleh-Nya, serta membenci perkara-perkara tersebut. Dan apabila seorang hamba mengetahui akan peringatan ini mereka akan senantiasa berbuat amal kebajikan yang terbaik untuk mereka dalam keikhlasan dan ittiba’(mengikuti sunnah Rasul SAW).
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal perbuatan adalah didasarkan atas niat, dan setiap perbuatan seseorang adalah tergantung atas niatnya”. (H.S.R. al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadits di atas dapat kita ambil berbagai pelajaran tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah ikhlas. Diantaranya masalah keikhlasan seseorang adalah bedasarkan atas niat yang ia tanamkan dalam hatinya ketika akan dan sedang melakukan amal perbuatan tertentu. Sebuah niat ikhlas yang mulia tidak dapat menjadikan sebuah perkara yang mungkar menjadi ma’ruf, akan tetapi sebuah niat yang mulia diiringi dengan sebuah amal perbuatan yang mulia akan diberikan ganjaran pahala oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Banyak dari manusia yang mengerjakan amal perbuatan mulia akan tetapi mereka memiliki tujuan niat bukan karena mengharap ridha dan pahala dari Allah, mereka memiliki niat dalam hati mereka agar mereka dianggap oleh kalangan masyarakat sebagai orang yang dermawan dan suka akan sedekah, suka menolong, dan lain sebagainya. Sebuah gambaran yang ironis, amal perbuatan yang sama sekali tidak mengharap wajah Allah, dan hanya akan menghasilkan pujian manusia yang fana.
Dari sini dapat kita ambil sekian banyak hikmah akan pentingnya peran ikhlas dalam diri seseorang ketika mereka beramal.


Khauf(rasa takut)

Khauf memiliki definisi takut, yaitu reaksi emosional yang muncul disebabkan oleh dugaan seseorang tentang adanya kebinasaan, bahaya atau gangguan yang akan menimpa dirinya. Allah telah melarang perasaan takut kepada wali-wali syaithan dan memerintakan untuk takut hanya kepada-Nya semata.

Macam-macam Khauf
1. Khauf Thabi’i , yaitu perasaan takut yang bersifat naluriah. Misalnya perasaan seseorang yang takut kepada binatang buas, api, tenggelam dan lain sebagainya. Dan seseorang yang memiliki rasa takut seperti ini adalah tidak tercela, hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah yang mengisahkan kisah Musa AS
فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِينَةِ خَائِفًا يَتَرَقَّبُ
Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya) (Q.S. al-Qhashash : 18).
Perasaan takut kepada Allah yang terpuji adalah jika akhirnya bisa menghalangi diri Anda dari kemaksiatan kepada-Nya, dan mendorong untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan mencegah dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan apabila tujuan ini terwujud, hati akan senantiasa tenang dan tentram serta diliputi oleh perasaan gembira oleh nikmat-nikmat-Nya dan harapan-harapan akan pahala-Nya.
Perasaan takut kepada Allah yang tidak terpuji adalah yang menjadikan seorang hamba berputus asa dari rahmat Allah, sehingga ia banyak menyesali diri, patah semangat, dan bahkan semakin jauh terjerumus dalam kemaksiatan disebabkan oleh kuatnya rasa putus asa.
2. Khauf Ibadah, misalnya seseorang yang takut kepada orang lain dalam rangka beribadah kepadanya. Perasaan takut yang semacam ini hanya boleh diarahkan hanya kepada Allah semata. Dan memalingkan rasa takut seperti ini kepada selain Allah adalah merupakan kesyirikan yang besar.
3. Khauf Sirr, perasaan takut yang tersembunyi. Misalnya takutnya seseorang kepada penghuni kuburan tertentu atau kepada wali yang berjauhan tempat dengannya, yang tidak dapat memberikan pengaruh apapun kepadanya, akan tetapi ia memiliki perasaan takut yang tersembunyi kepadanya, maka takut yang seperti ini disebut oleh para ulama sebagai salah satu bentuk kesyirikan pula.

Allah menejelaskan dalam firman-Nya
فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Q.S. ali Imran : 175)

Raja’

Raja’ adalah harapan manusia kepada suatu perkara yang mudah diperoleh, atau perkara yang sukar diperoleh tetapi dianggap mudah.
Raja’ yang mengandung makna kerendahan dan ketundukan hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Mengarahkannya kepada selain Allah dapat menyeret seseorang dalam jurang kesyirikan baik itu syirik kecil atau besar. Yang kesemuanya tergantung dari apa-apa yang terdapat di hati orang yang berharap tersebut.
Wajib kita ketahui bahwa raja’ yang terpuji hanyalah dimiliki oleh orang yang mentaati Allah seraya mengharap pahala ketaatan tersebut, atau orang yang bertaubat dari maksiat seraya mengharap diterimanya taubat itu. Adapun harapan yang tidak disertai dengan perbuatan, maka tidak lebih dari sekedar kesombongan dan angan-angan yang tercela.

Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. al-Baqarah : 218)
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Q.S. al-Kahfi 110)

Tawakkal

Bertawakkal artinya mengantungkan diri kepada sesuatu. Bertawakkal kepada Allah berarti menggantungkan diri kepada Allah sebagai pemberi kecukupan dalam mendatangkan menfaat dan mencegah mudharat. Tawakal kepada Allah merupakan gambaran kesempurnaan dan tanda iman, karena Allah berfirman :
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". (Q.S. al-Maidah : 23)
Jika seorang hamba benar-benar bertawakal kepada Allah maka Allah akan menjamin akan memberikan kecukupan akan keperluannya. Karena Allah berfirman :
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. (Q.S. al-Thalaq : 3)

Dan kesemuanya adalah ditangan Allah ‘Azza wa Jalla semata, tidak ada sesuatu yang dikehendaki-Nya yang tidak terlaksana.

Tawakal ada beberapa macam :
1. Tawakal kepada Allah ta’ala. Ini merupakan kesempurnaan iman dan salah satu ciri kebenarannya. Hukumnya wajib dan iman tidak sempurna kecuali dengannya.
2. Tawakal terselubung, yaitu apabila seseorang menggantungkan diri kepada mayit dalam rangka mendatangkan manfaat dan menolak mudharat. Ini sangat tidak diragukan lagi bahwa ia adalah Syirik Akbar, karena ia tidak mungkin terjadi kecuali kepada orang yang berkeyakinan bahwa mayit tersebut memiliki kekuasaan tersembunyi untuk mengatur alam. Tidak ada perbedaan apakah mayat tersebut adalah seorang wali, Nabi, Thaghut musuh Allah ta’ala.
3. Tawakal dalam artian menggantungkan kepada orang lain dalam hal yang mampu untuk dilakukan orang tersebut, diiringi dengan perasaan akan tingginya kedudukan orang itu dan rendahnya kedudukan orang yang bertawakal. Misalnya, seseorang bergantung kepada orang lain dalam memperoleh penghidupan, dan sebagainya. Ini merupakan jenis syirik ashghar, karena kuatnya ketergantungan hati kepadanya. Adapun jika seseorang bergantung kepadanya dengan anggapan bahwa ia bukan merupakan sebab, sedangkan Allah ta’ala adalah satu-satunya yang berkuasa untuk mewujudkannya, maka ia tidak berdosa. Jika memang yang ditawakali benar-benar berpengaruh dalam mewujudkannya.
4. Menggantungkan diri kepada orang lain dalam urusan yang sebenarnya menjadi wewenang orang yang bertawakal. Dengan kata lain, ia mewakilkan kepada orang lain, perkara yang memang boleh diwakilkan. Tindakan ini tidak berdosa , berdasarkan dalil dari al-Kitab, al-Sunnah dan Ijma’. Nabi Ya’qub pernah berkata kepada anak-anaknya :
يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya (Q.S. Yusuf : 87)

Nabi SAW pernah mewakilkan urusan pengambilan sedekah kepada para amil dan pegawai, memberi kuasa kepada orang lain untuk membuktikan dan melaksanakan hukuman had, meyerahi Ali ibn Abi Thalib pengelolaan binatang-binatang kurbannya dalam haji wada’, agar Ali menyedekahkan kulit dan pelana binatang-binatang itu dan menyembelih sisa dari seratus binatang-binatang itu, dimana enam puluh tiga diantaranya telah disembelih oleh Rasulullah SAW sendiri.

Syukur
Syukur adalah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukur seorang hamba berkisar pada tiga hal; yang apabila ketiganya tidak berkumpul maka tidaklah dinamakan bersyukur. Tiga dimensi tersebut adalah : mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana ketaatan kepada Allah . Sehingga syukur berkaiatan erat dengan hati, lisan, dan anggota badan.
Syukur memiliki keutamaan bagi seorang hamba, agar ia senantiasa merasakan keutamaan yang telah Allah berikan kepadanya. Allah memerintahkan di dalam firman-Nya :
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.(Q.S. al-Baqarah : 152)
Perintah untuk bersyukur bukan untuk kepentingan Allah Ta’ala, karena Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan segala sesuatu yang ada di alam semesta. Kesemuanya itu adalah untuk kepentingan bagi setiap hamba sebagai wujud sopan santun seorang hamba kepada sang Khaliq. Allah berfirman :
وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".(Q.S. Luqman : 12)
Allah memberikan motivasi bagi setiap hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Nya, Dia akan memberikan tambahan kenikmatan yang telah diberikan bagi hamba tersebut. Sebaliknya bagi siapa saja yang tidak mau bersyukur Allah menyediakan bagi mereka adzab yang pedih.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Q.S. Ibrahim: 7)


Muraqabah
Wajib bagi setiap hamba untuk senantiasa muraqabah(merasa diawasi) oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam setiap perilaku yang ada. Dan harus diyakini bahwasanya Allah adalah selalu mengetahui atas apa-apa yang ada dalam hati seorang hamba, sehingga ditanamkan dalam diri seorang hamba tersebut rasa selalu dilihat dan diawasi oleh Allah SWT. Dan seandainya seorang hamba tidak dapat melihat Allah maka ia harus meyakini bahwasanya Allah senantiasa mengawasi dirinya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.(Q.S. al-Nisa : 1)
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”.(Q.S. Ghafir : 19)
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ  الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ  وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.(Q.S. al-Syuaraa’ : 217-219)

Sebuah bukti dari Allah ta’ala bahwa Ia senantiasa mengawasi gerak-gerik hamba-hamba-Nya, baik dalam keadaan berdiri(dalam shalat), ruku’, ataupun sujud, dan lain sebagainya.
Dalam sebuah ayat lain disebutkan :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”. (Q.S. al-Hadid : 4)

Allah senantiasa bersama para hamba-Nya dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh-Nya, Dia berada bersemayam di atas ‘Arsy-Nya jauh dan berbeda dari para hamba-Nya. Dimanapun seorang hamba berada Allah selalu mengetahuinya, apakah di daratan, lautan, siang, malam, dalam rumah ataupun dibangunan yang kokoh, kesemuanya berada dalam genggaman ilmu Allah.
Yang harus kita tekankan dalam masalah kebersamaan Allah bersama para hamba-Nya adalah bukan kebersamaan Dzat Allah bersama para hamba, akan tetapi kebersamaan ilmu Allah dengan para hamba-Nya. Dan ini adalah pemahaman yang dimiliki dan kita warisi dari para Sahabat Nabi SAW, Tabi’in, dan para pengikutnya yang lurus dalam menempuh manhaj mereka-semoga ridha Allah selalu bersama mereka-.

Rasulullah SAW menjelaskan tentang ma’iyyah Allah bersama hamba-Nya sebagaimana dapat kita lihat dalam hadits Jibril yang cukup panjang, beliau menjelaskan definisi tersebut sebagaimana definisi Ihsan :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ , فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau menyembah Allah seakan-akan Allah melihat dirimu, dan seandainya engkau tidak dapat melihat Allah maka sesungguhnya Allah melihat dirimu”. (H.S.R. Muslim)

Taubat

Taubat berasal dari bahasa Arab تَابَ – يَتُوْبُ – تَوْبَةً yang memiliki arti jika kembali. Dan dari kaidah syar’i taubat memiliki makna kembalinya seorang hamba dari bermaksiat kepada Allah menuju keta’atan kepada-Nya. Diantara taubat yang paling utama dan paling agung adalah kembalinya seorang hamba dari kekufuran menuju keimanan kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu".(Q.S. al-Anfal : 38)

kemudian disusul yang kedua yaitu taubatnya hamba dari dosa-dosa besar, dan yang ketiga taubatnya hamba dari dosa-dosa kecil.
Oleh karena itu sangatlah wajib bagi seorang hamba untuk senantiasa bertaubat kepada Allah Ta’ala dari dosa-dosa yang pernah mereka lakukan.
Syarat taubat ada 3 hal , :
1. Hendaknya seorang hamba berlepas diri dari kemaksiatan kepada Allah
2. Hendaknya seorang hamba menyesal dari apa-apa yang pernah ia kerjakan dalam masalah maksiat kepada-Nya
3. Hendaknya seorang hamba berjanji kepada Allah dan dirinya untuk tidak kembali kepada dosa-dosa yang pernah ia lakukan sebelumnya selama-lamanya.

Akan tetapi apabila sebuah dosa atau maksiat ini berhubungan dengan hak antar sesama hamba maka di tambah dengan satu syarat lagi yaitu:
4. Mengembalikan apa-apa yang menjadi hak dari orang yang telah di dzhalimi, apabila berupa barang maka harus dikembalikan, apabila berkaitan dengan hak-hak yang lain maka hendaknya meminta permohonan maaf, dan lain sebagainya.

Ada tambahan syarat taubat yang sangat penting pula dan merupakan salah satu syarat taubat yang tidak dapat dipisahkan yaitu :
5. Hendaknya taubat seorang hamba tersebut adalah pada saat waktu-waktu dimana sebuat taubat itu diterima oleh Allah, karena apabila sebuah taubat dilakukan seorang hamba pada waktu dimana taubat tidak dapat diterima tentunya sangatlah tidak bermanfaat ketika itu. Sebagaimana digambarkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya :
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih”.(Q.S. al-Nisa : 18)

Allah berfirman :
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(Q.S. al-Nur : 31)

dalam ayat yang lain disebutkan :
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian)”.(Q.S. Huud : 3)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
” Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai ’’.(Q.S. al-Tahrim : 8)

Rasulullah SAW senantiasa bertaubat kepada Allah meskipun dosa-dosa beliau sudah diampuni Allah baik yang telah lampau ataupun yang akan datang. Akan tetapi beliau tetap melaksanakannya sebagai perwujudan seorang hamba yang senantiasa bersyukur. Disebutkan dalam sebuah riwayat:
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
”Berkata Abu Hurairah : Aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata : “ Demi Allah , sungguh aku selalu memohon ampun kepada Allah dan taubat kepada-Nya dalam satu hari tidak kurang dari tujuh puluh kali”. (H.S.R. Bukhari )

bahkan dalam riwayat yang lain pernah beliau memberikan motivasi kepada para sahabat beliau, :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya aku senantiasa memohon taubat kepada Allah dalam satu hari seratus kali”.(H.S.R. Muslim)

dalam sebuah riwayat disebutkan pula:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah selalu membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang bermaksiat di siang harinya, dan Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang bermaksiat di malam harinya. Dan ini berlangsung hingga terbitnya matahari dari tempat tenggelamnya(kiamat).“(H.S.R. Muslim)

Sekilas tentang Al Asma' al Husna

Asma wa Sifat Allah dan manhaj Ahlus Sunnah di dalam masalah ini.

I. Al-Asma’ wa al-Sifat Allah dalam tinjauan Aqidah Islam.

Keberadaan al-asma’ dan al-Sifat milik Allah adalah sangat agung kedudukannya di dalam agama Islam. Dimana keberadaan tersebut adalah sebagai salah satu asas pondasi Islam dalam masalah keimanan(aqidah) seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keimanan kepada al-asma’ wa al-sifat (tauhid al-asma’ wa al-sifat) memiliki definisi yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut apa yang pantas bagi Allah SWT, tanpa adanya penyimpangan makna dari apa-apa yang dikehendaki oleh-Nya(seperti ta’wil, ta’thil , takyif , ataupun tahrif .). Pemahaman ini berdasarkan dari firman Allah ta’ala, yang artinya :
“Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”(Q.S. asy-Syura : 11).
Allah menafikkan jika ada sesuatu yang menyerupai diri-Nya, dan Dia menetapkan bahwa Dia adalah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka Dia diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk diri-Nya dalam kitrab-Nya dan dengan nama dan sifat yang diberikan oleh Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dalam hal ini apa-apa yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah tidak boleh dilanggar, karena tidak seorangpun yang lebih mengetahui tentang Allah daripada Allah sendiri. Serta tidak ada (-sesudah Allah) seorangpun yang lebih mengetahui tentang Allah daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka barangsiapa yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau menamakan Allah dan mensifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluq-Nya, atau menta’wilkan nama-nama dan sifat-sifat tersebut dari makna yang benar, maka sesungguhnya ia berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan rasul-Nya.
Allah berfirman yang artinya :
“Siapakah yang lebih Zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah ???”(Q.S. al-Kahfi : 15)


II. al-Asma’ al-Husna

Allah ta’ala berfirman, yang artinya:
“Hanya milik Allah al-asma’ al-husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ husna itu dan tinggalkannlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa-apa yang telah mereka kerjakan”.(Q.S. al-A’raf : 180)

Dari ayat yang mulia diatas, ada beberapa hal yang dapat kita petik :
1. Menetapkan nama-nama untuk Allah ta’ala, maka barangsiapa yang menafikan nama-nama Allah tersebut berarti ia telah menafikan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri, secara otomatis pula ia telah menentang Allah.
2. Bahwasanya asma’ Allah ta’ala semuanya adalah husna, maksudnya sangat baik. Karena ia mengandung makna dan sifat-sifat yang sempurna, tanpa adanya kekurangan dan cacat sedikitpun. Dan bukanlah nama-nama tersebut hanya sekedar nama-nama kosong semata tanpa memiliki makna dan arti.
3. Sesungguhya Alah memerintahkan berdoa dan ber-tawassul kepada-Nya dengan nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini, menunjukkan keagungannya serta kecintaan Allah kepada doa yang disertai nama-nama-Nya.
4. Bahwasanya Allah ‘azza wa Jalla mengancam orang-orang yang ilhad dalam asma’-Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka yang buruk.

Diriwayatkan dalam tafsir ibnu Katsier bahwasanya pernah suatu ketika salah seorang musyrik mendengar doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengucapkan dalam sujud beliau “Yaa Allah, yaa Rahman ..”. Maka orang tersebut berkata :”Sesungguhnya Muhammad mengaku hanya menyembah kepada satu Tuhan, sedangkan ia saat ini menyembah dua tuhan????”. Sehingga Allah menurunkan sebuah ayat dari al-Quran surat al-Isra’ : 110, yang artinya:
“Katakanlah! :’Serulah Allah atau serulah al-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asma’ al-husna(nama-nama yang terbaik)…..”
Sehingga dari kisah di atas dapat kita ambil hikmah bahwasanya Allah sangat menyukai apabila seorang hamba memohon kepada-Nya dengan seruan nama-nama yang Allah miliki sesuai dengan keinginan hamba tersebut. Dan seorang hamba dapat memilih diantara nama-nama tersebut yang ia suka, seperti dengan seruan “Yaa Allah,…yaa Rahman, yaa Ghaffar….” dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan akan tetapnya nama-nama Allah tersebut dan masing-masing dari nama Allah tersebut bisa digunakan sesuai dengan maqam dan suasananya, karena kesemuanya adalah husna.
Allah berfirman dalam surat yang lain yang artinya:
“Dialah Allah, tiada tuhan yang berhak untuk disembah melainkan Dia. Dia mempunyai al-asma’ al-husna”. (Q.S. Thaha : 8).


III. Kandungan al-Asma’ al-Husna

Nama-nama Allah yang mulia adalah bukan sekedar nama yang kosong dari makna dan sifat. Dari nama-nama Allah tersebut menunjukkan akan keagungan sifat yan dimiliki Allah dan kemuliaan nama yang dimiliki-Nya. Setiap nama menunjukkan akan sifat yang terkandung didalamya. Sebagaimana nama Allah al-Rahman dan al-Rahim, kedua nama ini menunjukkan akan sifat rahmah(kasih sayang), al-Sami’ dan al-Bashir, dua nama ini menunjukkan sifat mendengar dan melihat. al-‘Alim menunjukkan akan sebuah sifat ilmu yang tiada terkira luasnya. Al-Karim menunjukkan sifat karam(mulia dan dermawan). Al-Khaliq menunjukkan Dia adalah Zat yang menciptakan, dan al-Razzaaq menunjukkan Dia memberi rizqi dengan jumlah yang sangat banyak. Begitulah seterusnya, setiap nama dari nama-nama-Nya menunjukkan sifat dari sifat-sifat-Nya.
Syaikh al-Islam Al-Imam ibnu Taimiyyah mengatakan : “Setiap nama dari nama-nama-Nya menunjukkan kepada Dzat yang disebutnya dan sifat yang dikandungnya, seperti al-’Alim menunjukkan Dzat dan ilmu, al-Qadir menunjukkan Dzat dan qudrah(kekuasaan), al-Rahim menunjukkan Dzat dan sifat Rahmat…”
Al-Imam ibnu Qayyim al-Jauziah pernah mengatakan :
“Nama-nama Rabb Subhanahu wa ta’ala menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, karena nama-nama tersebut di ambil dari sifat-sifat-Nya. Jadi ia adalah nama sekaligus sifat dan karena itulah ia menjadi husna. Sebab andaikata ia hanyalah lafadz-lafadz yang tidak memiliki makna maka tentunya tidak akan disebut husna, juga tidak menunjukkan pujian dan kesempurnaan. Jika demikian tentu diperbolehkan meletakkan nama intiqam(balas dendam) dan ghadhab(marah) pada tempat rahmat dan ihsan, atau sebaliknya. Sehingga boleh dikatakan : “Yaa Allah sesungguhnya aku telah menzalimi diri saya sendiri, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya Engkau adalah al-Muntaqim(Maha membalas Dendam). Yaa Allah anugerahilah aku, karena Engkau adalah adh-Dharr(Yang Maha Memberi Mudharat) dan al-Mani’(Yang Maha Menolak)……”dan yang semacamnya. Lagipula kalau tidak menunjukkan arti dan sifat, tentu tidak diperbolehkan memberi kabar dengan masdar-masdarnya dan tidak boleh menyifati dengannya. Tetapi kenyataannya Allah sendiri telah mengabarkan tentang diri-Nya dengan masdar-masdar-Nya dan menetapkan untuk diri-Nya dan telah ditetapkan oleh Rasul-Nya untuk-Nya, sebagaimana dalam sebuah ayat dijelaskan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi Rizqi Yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh”.(Q.S. Al-Dzariyat : 58).
Dari sini diketahui bahwa al-Qawiy adalah salah satu nama-nama-Nya yang memiliki makna “Dia Yang memiliki Kekuatan”. Demikian halnya dengan firman-Nya yang lain :
“…Maka bagi Allah lah kemuliaan itu semuanya…” (Q.S. al-Fathir : 10).
Al-‘Aziz adalah “Yang memiliki Izzah(kemuliaan)”. Seandainya tidak memiliki kekuatan dan izzah (kemuliaan) maka tidak boleh dinamakan al-Aziz dan al-Qawiy. Demikian penjelasan ibnu Qayyim al-Jauziah .

IV. Penjelasan tentang sebagian sifat-sifat Allah.

Sifat-sifat yang disebutkan Allah tentang diri-Nya ada dua macam sifat; Sifat Tsubutiyyah dan Sifat Salbiyyah.
Sifat Tsubutiyyah adalah setiap sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk Diri-Nya di dalam al-Quran ataupun yang melalui sabda Rasulullah . Sifat-sifat ini adalah sifat kesempurnaan, tidak menunjukkan sama sekali cela ataupun kekurangan. Sifat Tsubutiyyah ini terbagi menjadi dua bagian :
Bagian pertama adalah sifat dzatiyah, yaitu sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya Sifat ini tidak terpisah dari Dzat-Nya. Seperti (القدرة) Maha Berkuasa. Dalam sekian banyak ayat al-Quran dijelaskan perihal sifat al-Qudrah ini sebagaimana dalam contoh berikut:
“….dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Q.S. al-Maaidah : 120)
”Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. (Q.S al-Baqarah : 20)
”Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : ‘Jadilah, maka terjadilah ia ”. (Q.S. Yasin : 82)
Maka seluruh makhluq-Nya, baik yang di atas maupun yang di bawah, menunjukkan kesempurnaan qudrah-Nya yang menyeluruh. Tidak ada satupun partikel yang dapat keluar dari-Nya. Dan sangat cukuplah menjadi dalil bagi seorang hamba manakala ia melihat kepada penciptaan dirinya, bagaimanakah Allah menciptakannya dalam bentuk yang paling baik, membelah baginya pendengaran dan pengelihatannya, menciptakan sepasang mata untuknya, sebuah lisan dan sepasang bibir. Kemudian apabila ia melayangkan pandangannya ke seluruh jagad raya ini maka ia akan melihat berbagai keajaiban qudrah-Nya yang menunjukkan akan keagungan-Nya. Dan sifat Allah yang lain sebagainya.
Bagian kedua adalah sifat fi’liyyah, yaitu sifat yang Allah perbuat jika berkehendak. Seperti bersemayam di atas ‘Arsy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir dari malam, dan datangnya Dia pada hari kiamat. Banyak dari sifat Allah pada bagian kedua ini diingkari oleh sebagian kaum muslimin yang cenderung mengedepankan akal mereka di atas nash(dalil) baik itu dari al-Quran ataupun hadits yang shahih.
Di dalam al-Quran al-Karim, Allah telah mengabarkan akan bersemayamnya diri-Nya di atas ‘Arsy. Ada tujuh ayat di berbagai surat dalam al-Quran yang menjelaskannya. Sebagaimana dalam surat al-A’raf :
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy ”.(Q.S. al-A’raf : 54).
Pada surat Yunus:
”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy “.(Q.S. Yunus : 3)
dan pada surat yang lainnya seperti (Q.S. ar-Ra’d : 2), (Q.S. Thaha : 5), (Q.S. al-Furqan : 59), (Q.S. al-Sajdah : 4), dan (Q.S. al-Hadid : 4).
Dalam ketujuh ayat di atas lafadz istiwa’ datang dalam bentuk dan lafadz yang sama. Maka hal ini menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah maknanya yang hakiki yang tidak menerima ta’wil, yaitu ketinggian dan keluhuran-Nya di atas ‘Arsy .
‘Arsy dalam tinjauan etimologi Bahasa Arab adalah singgasana untuk raja, akan tetapi yang dimaksudkan dengan ‘Arsy di sini adalah singgasana yang memiliki beberapa kaki yang dipikul oleh para malaikat-Nya , ia merupakan atap bagi semua makhluq. Dan bersemayamnya Allah di atasnya ialah yang sesuai dengan keagungan-Nya. Kita tidak mengetahui kaifiyah(cara)-nya, sebagaimana kaifiyah sifat-sifat-Nya yang lain. Akan tetapi kita hanya menetapkannya sesuai dengan apa yang kita fahami dari maknanya dalam Bahasa Arab, sebagaimana sifat-sifat lainnya.

Sifat Salbiyyah adalah setiap sifat yang dinafi’kan (ditiadakan) Allah ‘Azza wa Jalla bagi Diri-Nya melalui al-Quran ataupun sabda Rasul-Nya . Dan seluruh sifat ini adalah sifat kekurangan dan tercela bagi Allah, contohnya : maut(mati tidak hidup), naum(tidur), jahl(bodoh), nisyan(kelupaan), ‘ajz(kelemahan), ta’ab(lelah dan capek),dan lain-lainnya. Sifat-sifat tersebut wajib dinafi’kan dari Allah Ta’ala berdasarkan keterangan di atas, dengan disertai penetapan sifat kebalikannya secara lebih sempurna. Sebagai contoh permisalan, menafi’kan maut(mati) dan naum(tidur), berarti menetapkan kebalikannya bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Hidup dengan sempurna. Menafi’kan jahl(bodoh), berarti menetapkan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui dengan ilmu-ilmu-Nya yang sempurna.

V. Apakah al-asma’ al-husna terikat dengan bilangan tertentu?

Asma’(nama-nama) Allah tidak terikat dengan bilangan tertentu, hal ini adalah berdasarkan riwayat Rasulullah  dalam sebuah hadits yang masyhur :
أَسْأَلُكَ بِكُلَّ اْسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْـزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ , أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ , أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ .
“Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-nama-Mu, yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada seseorang diantara makhluq-Mu, atau masih dalam rahasia Ghaib pada-Mu yang hanya Engkau sendiri mengetahuinya”. (H.S.R. Ahmad, ibnu Hibban dan al-Hakim).
Padahal sesuatu yang masih dalam rahasia ghaib dan hanya diketahui oleh Allah semata tidak mungkin dapat dihitung atau diketahui dengan pasti oleh seseorang. Mungkin dalam sebagian pemahaman masyarakat muslimin akan bertanya-tanya tentang keberadaan sebuah riwayat yang masyhur dan disandarkan pengucapan riwayat tersebut kepada Rasulullah  yang berbunyi :
إِنَّ ِللهِ تِسْعَةُ وَتِسْعِيْنَ اِسْماً , مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya ada bagi Allah sembilan puluh sembilan(99) asma(nama), seratus kurang satu, yang barang siapa dapat menghitungnya akan masuk sorga”.
Ada sebuah penjelasan yang cukup bisa menjawab permasalahan di atas, al-Imam asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin-rahimahullah- menjelaskan:
“Hadits di atas tidak menunjukkan bahwa asma Allah hanya sejumlah 99 ini saja. Andaikata maksud hadits ini demikian tentu susunan redaksi kalimatnya adalah sebagai berikut :
إِنَّ أَسْمَاءَ اللهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اِسْماً , مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya asma’ Allah ada sembilan puluh sembilan(99) asma(nama), seratus kurang satu, yang barang siapa dapat menghitungnya akan masuk sorga”.
Karena pengertian riwayat di atas yaitu bahwa sembilan puluh sembilan asma’ ini diantara yang menghafal dan menghitungnya akan masuk ke dalam surga. Hal in disebabkan karena susunan kalimat “man ahshaaha dakhala al-jannah” merupakan kalimat pelengkap , dan bukan kalimat terpisah yang berdiri sendiri. Sebagai contoh seperti ini bila ada Anda mengatakan : ’’Saya punya uang 100 dirham yang saya persiapkan untuk sedekah ’’, yang mungkin dalam hal ini memiliki arti bisa saja Anda memiliki dirham-dirham lain yang tidak Anda persiapkan untuk bersedekah.
Dan sesunguhnya tidak benar adanya penyusunan asma Allah tersebut berasal dari Nabi  , dan riwayat yang berkenaan dengan hal ini adalah lemah(dha’if) . Demikian penjelasan beliau –rahimahullah- secara ringkas.