Powered By Blogger

Kamis, 12 November 2009

Akhlaq terhadap Allah Subhaanahu wa Ta'ala

Akhlaq terhadap Allah SWT

I. Definisi Akhlaq

Akhlaq berasal dari bahasa Arab أخلاق (akhlaq) yang merupakan bentuk jama’(plural) dari kata خلق (khuluq). Secara bahasa akhlaq mempunyai arti budi pekerti, tabiat, watak. Dalam kebahasaan akhlaq sering disinonimkan dengan moral atau etika.
Al-Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlaq dengan artian :
اَلأَخْلاَقُ هِيَ صِفَةٌ رَاسِخَةٌ فِيْ الْقَلْبِ تَصْدُرُ عَنْهَا أَفْعَالٌ بِسُهُوْلَةٍ وَتَسِيْرُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَىْ فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
“Akhlaq adalah segala sifat yang tertanam di dalam hati, yang dapat menimbulkan segala macam perbuatan yang ringan dan mudah tanpa memerlukan sebuah pemikiran sebagai pertimbangan”.

Dari definisi tersebut dapat kita tarik kesimpulan :
• Bahwa akhlaq berpangkal pada hati, jiwa atau kehendak, yang kemudian
• Diwujudkan dalam amal perbuatan sebagai kebiasaan(bukan perbuatan yang di buat-buat akan tetapi yang sewajarnya).

Dengan demikian untuk meraih kesempurnaan akhlaq, seseorang harus melatih diri dan membiasakannya di dalam hidupnya sehari-hari. Seseorang harus berlatih dan membiasakan diri berfikir dan berkehendak baik, serta membiasakan mewujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan cara yang demikian seorang muslim akan memperoleh kesempurnaan akhlaq, sebab akhlaq seseorang bukanlah tindakan yang direncanakan pada saat-saat tertentu saja, namun akhlaq merupakan keutuhan kehendak dan perbuatan yang melekat pada seseorang, yang akan nampak pada perilakunya sehari-hari.

Pedoman akhlaq di dalam Islam
Karena akhlaq adalah kehendak dan perbuatan seseorang, maka pedoman akhlaqpun bermacam-macam. Hal ini terjadi karena seseorang mempunyai kehendak yang bersumber dan berlandaskan dari berbagai macam acuan, bergantung kepada lingkungan, pengetahuan, atau pengalaman orang tersebut. Seseorang yang berkehendak menolong orang misalnya, ia mempunyai alasan atau pedoman, sehingga orang tersebut bersedia dan berkehendak untuk melakukan tindakan pertolongan tersebut.
Demikian pula perbuatan seseorang terwujud tentunya didasari berbagai sumber atau acuan yang berbeda-beda. Bagi seorang muslim tentunya akan menjadikan pedoman sumber akhlaq mereka adalah dari agama Islam.
Islam sebagai agama yang bersumber pada wahyu memiliki seperangkat bimbingan bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan dalam perjalanan hidup di dunia dan akhirat. Akhlaq dalam kehidupan manusia adalah faktor yang sangat penting dalam Islam. Oleh karena itu sumber ajaran Islam tidak luput memuat akhlaq sebagai sisi penting dalan kehidupan manusia. Pedoman akhlaq di dalam Islam tidak dapat lepas dari wahyu Ilahi (al-Quran) dan al-Sunnah yang shahihah.
a. al-Quran
al-Quran sebagai pedoman utama di dalam agama Islam mengandung bimbingan, petunjuk, penjelas dan pembeda antara perkara yang haq dan yang bathil. Al-Quran memuat bimbingan yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah Ta’ala. Sebagai contoh Allah memberikan bimbingan kepada makhluq-Nya apabila ingin memohon pertolongan, sebagaimana disebuykan di sebuah ayat:
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
“dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan melalui sabar dan shalat”.(Q.S. al-Baqarah : 45)

b. al-Sunnah
al-Sunnah adalah salah satu rujukan pedoman di dalam Islam setelah al-Quran al-Karim. Dalam al-Quran disebutkan :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(Q.S. al-Ahzab : 21)

hal ini juga mengukuhkan tentang risalah kenabian Rasulullah SAW, Rasulullah SAW diutus oleh Allah di muka bumi ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq. Sebagaimana dalam ayat lain disebutkan :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
” Dan sesungguhnya kamu(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(Q.S. Qalam : 4)

dalam sebuah sabda beliau SAW disebutkan :
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ اَلأَخْلاَقِ
“Bahwasanya aku(Muhammad) diutus adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq”. (H.R. Ahmad)

Rasulullah SAW adalah salah satu sumber akhlaq di dalam Islam, karena beliau adalah contoh konkrit pelaksanaan wahyu Allah yang tertuang di dalam al-Quran. Segala ucapan, tingkah laku, sopan santun Rasulullah adalah suri tauladan bagi umat Muhammad SAW dalam melaksanakan dan mengimplementasikan al-Quran.

Akhlaq terhadap Allah Ta’ala

Inti akhlaq seorang hamba kepada Allah ta’ala adalah sebagaimana tertuang di dalam ayat :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.(Q.S. al-Dzariyat : 56)
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (Q.S. al-Nisa : 36)
وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.(Q.S. al-Hajj : 77)

Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah SAW pernah beliau bersabda kepada Mu’adz ibn Jabal :
هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya dan apakah hak hamba-Nya kepada Allah?, di jawab oleh Mu’adz : Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, Kemudian beliau SAW bersabda : “Sesungguhnya hak Allah atas hamba-Nya adalah hendaknya seorang hamba senantiasa bertauhid dalam beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan hak seorang hamba kepada Allah adalah sesungguhnya Allah tidak akan memberikan adzab-Nya bagi hamba yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”. (H.S.R al-Bukhari )

dari penggalan ayat dan al-Sunnah di atas dapat kita petik sebuah pelajaran bahwa akhlaq seorang hamba kepada Allah adalah :
1. Hendaknya seorang hamba senantiasa mentauhidkan Allah dalam masalah ibadah
2. Seorang hamba tidak menjadikan selain Allah sesembahan yang lain disisi Allah Ta’ala dan menjaga diri mereka dari dosa syirik kepada Allah Ta’ala.


Takwa
Takwa adalah sebuah wasiat yang sangat agung, sebuah wasiat yang senantiasa diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang terdahulu hingga yang akan datang. Sekian banyak definisi takwa diberikan oleh para salaf, diantaranya :
Hasan al-Bashri mengatakan :
المتقون : اتَّقَوْا ما حُرِّمَ عليهم , وأَدَّوْا ما افْتُرِض عليهم
“Orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa menjaga dari apa-apa yang diharamkan untuknya, dan menunaikan apa-apa yang telah diwajibkan atas diri mereka”

Umar ibn Abdul Aziz menyampaikan: “Bukanlah yang dinamakan bertakwa kepada Allah hanya semata dengan mengerjakan puasa di siang hari, atau mengerjakan shalat malam, atau bahkan mengerjakan diantara keduanya, akan tetapi takwa adalah :
تَرْكُ مَا حَرَّمَ اللهُ , وَأَدَاءُ مَا اْفتَرَضَ اللهُ
“Meninggalkan apa-apa yang telah dilarang oleh Allah, dan mengerjakan apa-apa yang telah Allah wajibkan atasnya”.

Talqu ibn Habib mendefinisikan takwa dengan :
التَّقْوَى أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ , وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ الله تَخَافُ عِقَابَ اللهِ
“Takwa adalah engkau mengerjakan ketaatan kepada Allah atas naungan cahaya dari Allah dalam rangka mengharap pahala/balasan Allah, dan engkau tinggalkan maksiat kepada Allah atas naungan cahaya dari Allah dalam rangka takut akan adzab Allah.

Salah seorang sahabat Abdullah ibn Mas’ud ketika menafsirkan ayat :
اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Bertaqwalah kalian dengan sebenar-benar taqwa”.(Q.S.Ali Imran : 103)
Beliau menuturkan penjelasan makna takwa di atas dengan ucapan beliau :
أَنْ يُطاعَ, فَلاَ يُعْصَى , وَيُذْكَر , فَلاَ يُنْسَى , وَأن يُشْكَر , فَلاَ يُكْفَر
“Hendaknya Allah senantiasa ditaati tidak dimaksiati, senantiasa di ingat tidak dilupakan, dan senantiasa disyukuri dan tidak dikufuri.”

Dari kesemua definisi di atas dapat kita simpulkan definisi takwa adalah :
1. Senantiasa mengerjakan kewajiban ketaatan kepada Allah diiringi dengan cahaya ilmu dalam mengerjakan ketaatannya tersebut, serta
2. Senantiasa menjauhi larangan yang telah Allah tetapkan, diiringi dengan cahaya ilmu dalam menjauhi larangan tersebut.

Sekian banyak wasiat Allah kepada seluruh hamba-Nya agar mereka senantiasa bertakwa kepada-Nya, bahkan wasiat ini berlaku bagi orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Allah berfirman :
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ
Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. (Q.S. al-Nisa : 131)

Allah juga memberikan jaminan bahwa Dia akan senantiasa menyertai orang-orang yang beriman dan bertakwa,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”. (Q.S. al-Nahl : 128)
Takwa adalah bekal bagi setiap makhluq pada hari kiamat kelak, dan gambaran bagi orang yang beriman agar senantiasa mempersiapkan bekal mereka sebelum hari akhir kelak, dalam firman-Nya Allah menyebutkan :
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.(Q.S. al-Baqarah : 197)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Hasyr : 18)

Allah juga memberikan jaminan bagi orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa akan sebuah musibah dan kesusahan, Allah akan memberikan kepada mereka jalan keluar, demikian pula Allah akan mencukupi rezeki mereka :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”. (Q.S. al-Thalaq : 2,3)

Dalam sebuah hadits disebutkan oleh Rasulullah SAW :
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dimana saja kalian berada, dan ikutilah perbuatan jahat yang telah kalian lakukan dengan perbuatan baik, niscaya dapat menghapuskannya(kejelekan kalian), dan pergauilah manusia dengan perangai yang baik lagi mulia”. (H.S.R. Tirmidzi).

Pentingnya penanaman ketakwaan dalam diri setiap muslim dimanapum mereka berada, hal ini menunjukkan bahwa ketakwaan di dalam agama Islam tidak hanya terbatas ketika seseorang muslim sedang memasuki atau berada di dalam masjid saja. Akan tetapi ketakwaan di dalam Islam sangatlah luas cakupannya, tidak terbatas hanya pada lingkungan masjid semata. Islam juga menyeru umatnya agar senantiasa berbuat kebajikan untuk menambah ketakwaan dan ketaatan mereka kepada Allah Ta’ala, dan menyeru kepada akhlaq yang mulia.

Rasulullah SAW tidak pernah lepas dari memohon kepada Allah agar beliau senantiasa diberikan ketakwaan dan keteguhan dalam imannya, ada sebuah riwayat yang menyebutkan tentang sebuah doa yang senantiasa dibaca oleh beliau :
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَىْ وَالتُّقَى وَالْعِفَّةَ وَالْغِنَىْ
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu al-Huda(petunjuk), dan ketakwaan, kehormatan, dan kekayaan”.(H.S.R. Muslim dari sahabat Abdullah ibn Mas’ud)

Cinta dan ridha
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan sepenuh semangat kasih sayang. Cinta dengan pengertian yangdemikian syudah merupakan fitrah yang dimiliki setiap orang. Islam tidak hanya mengakui keberadaan cinta itu pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya hingga terwujud dengan mulia. Bagi orang yang beriman, cinta yang pertama dan paling utama adalah kecintaan yang ada pada diri mereka dan hanya ditujukan kepada Allah semata. Kecintaannya kepada Allah melebihi kecintaannya kepada selain-Nya. Sebagaimana disebutkan :
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (Q.S. al-Baqarah : 165)
Ia mencintai Allah di atas segala galanya karena didorong oleh sebuah kesadaran diri bahwasanya Allah yang telah menciptakan alam beserta isinya, dan ia adalah bagian dari alam tersebut. Sejalan dengan cintanya kepada Allah, orang yang beriman akan mencintai Rasulullah  dan berjuang di dalam menegakkan agama Allah.
Konsekuensi cinta kepada Allah adalah mengikuti semua yang diajarkan oleh Rasulullah  , Allah befirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. ali Imran : 31)
Disamping secara khusus dijelaskan oleh Allah, bahwa Dia juga memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang dengan sifat dan amalan terttentu. Sebagaimana Allah mencintai orang yang berbuat ihsan(Q,S. al-Baqarah : 195), bertaubat(Q.S. al-Baqarah : 222), bertakwa (Q.S. ali Imran : 76), dan lain sebagainya dari sekian banyak sifat dan amalan terpuji yang dilakukan oleh seorang hamba.
Sejalan dengan cinta, seorang muslim harus dapat bersikap ridha terhadap segala aturan dan keputusan Allah  . Artinya ia harus dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yangdatang dari Allah dan rasul-Nya, baik yang beupa perintah ataupun larangan. Ia ridha karena ia mengetahui bahwa dirinya sangat mencintai Allah dan yakin bahwasanya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Mengetahui segala-galanya, Maha Bijak dan Benar, tidaklah mungkin Allah membuat perintah dan larangan yang tidak sesuai atau merugikan umat manusia.
Dengan demikian kita dapat menerima segala qadha dan qadar dari Allah ta’ala. Dengan cinta kita mengharapkan ridha-Nya, dengan ridha kita mengharapkan cinta-Nya.



Ikhlash
Ikhlas adalah melakukan amal perbuatan(kebajikan) hanya mengharap balasan pahala dari Allah semata, bukan kepada yang lain. Dan ikhlas ini adalah salah satu syarat dari dua syarat diterimanya sebuah amal perbuatan seseorang. Kemudian syarat yang kedua adalah benar dalam beramal, yang memiliki pengertian suatu amalan yang didasari atas ilmu yang benar berdasarkan sunnah Rasulullah SAW.
Dasar ikhlas diantaranya adalah firman Allah :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(Q.S. al-Bayyinah : 5)
Allah menjelaskan dalam ayat yang mulia di atas bahwasanya Ia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa mentauhidkan-Nya dalam masalah peribadahan, dan melarang dari menyembah yang selain-Nya. Agama Islam adalah agama hanif agama bagi umat yang lurus di atas al-haq, dan inilah yang akan membedakan umat Islam atas apa yang ada pada diri mereka dalam masalah aqidah dan akhlaq dengan umat kafir yang lainnya.
Diantaranya pula firman Allah yang lain :
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Q.S. al-Hajj : 37).

Sebuah penjelasan dari Allah Ta’ala bahwasanya ketika Allah mensyariatkan kurban, adalah bertujuan agar hamba-Nya selalu ingat atas rizqi yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala. Dan agar mereka senantiasa ingat bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Pemberi Rizqi, tidaklah darah dan daging yang mereka persembahkan kepada Allah sampai kepada-Nya, karena Allah adalah Dzat yang Maha memberi makan dan tidak membutuhkan makanan. Dia-lah Allah Yang Maha Kaya atas segala sesuatu.

Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu“.(Q.S. ali Imran : 29).

Allah adalah Dzat Yang Maha Tahu atas segala sesuatu baik itu yang nampak oleh mata ataupun apa-apa yang berada di dalam hati para hamba-Nya, dan ilmu Allah adalah meliputi segala sesuatu dalam peri kehidupan hamba-hamba-Nya. Semua perkara yang ada di muka bumi, terpendam di dalam bumi , dalam setiap langkah waktu, zaman, kesemuanya diketahui oleh Allah. Inilah peringatan yang jelas dari Allah ta’ala kepada segenap hamba-Nya agar mereka senantiasa takut dalam melaksanakan perkara-perkara yang telah di larang oleh-Nya, serta membenci perkara-perkara tersebut. Dan apabila seorang hamba mengetahui akan peringatan ini mereka akan senantiasa berbuat amal kebajikan yang terbaik untuk mereka dalam keikhlasan dan ittiba’(mengikuti sunnah Rasul SAW).
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal perbuatan adalah didasarkan atas niat, dan setiap perbuatan seseorang adalah tergantung atas niatnya”. (H.S.R. al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadits di atas dapat kita ambil berbagai pelajaran tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah ikhlas. Diantaranya masalah keikhlasan seseorang adalah bedasarkan atas niat yang ia tanamkan dalam hatinya ketika akan dan sedang melakukan amal perbuatan tertentu. Sebuah niat ikhlas yang mulia tidak dapat menjadikan sebuah perkara yang mungkar menjadi ma’ruf, akan tetapi sebuah niat yang mulia diiringi dengan sebuah amal perbuatan yang mulia akan diberikan ganjaran pahala oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Banyak dari manusia yang mengerjakan amal perbuatan mulia akan tetapi mereka memiliki tujuan niat bukan karena mengharap ridha dan pahala dari Allah, mereka memiliki niat dalam hati mereka agar mereka dianggap oleh kalangan masyarakat sebagai orang yang dermawan dan suka akan sedekah, suka menolong, dan lain sebagainya. Sebuah gambaran yang ironis, amal perbuatan yang sama sekali tidak mengharap wajah Allah, dan hanya akan menghasilkan pujian manusia yang fana.
Dari sini dapat kita ambil sekian banyak hikmah akan pentingnya peran ikhlas dalam diri seseorang ketika mereka beramal.


Khauf(rasa takut)

Khauf memiliki definisi takut, yaitu reaksi emosional yang muncul disebabkan oleh dugaan seseorang tentang adanya kebinasaan, bahaya atau gangguan yang akan menimpa dirinya. Allah telah melarang perasaan takut kepada wali-wali syaithan dan memerintakan untuk takut hanya kepada-Nya semata.

Macam-macam Khauf
1. Khauf Thabi’i , yaitu perasaan takut yang bersifat naluriah. Misalnya perasaan seseorang yang takut kepada binatang buas, api, tenggelam dan lain sebagainya. Dan seseorang yang memiliki rasa takut seperti ini adalah tidak tercela, hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah yang mengisahkan kisah Musa AS
فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِينَةِ خَائِفًا يَتَرَقَّبُ
Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya) (Q.S. al-Qhashash : 18).
Perasaan takut kepada Allah yang terpuji adalah jika akhirnya bisa menghalangi diri Anda dari kemaksiatan kepada-Nya, dan mendorong untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan mencegah dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan apabila tujuan ini terwujud, hati akan senantiasa tenang dan tentram serta diliputi oleh perasaan gembira oleh nikmat-nikmat-Nya dan harapan-harapan akan pahala-Nya.
Perasaan takut kepada Allah yang tidak terpuji adalah yang menjadikan seorang hamba berputus asa dari rahmat Allah, sehingga ia banyak menyesali diri, patah semangat, dan bahkan semakin jauh terjerumus dalam kemaksiatan disebabkan oleh kuatnya rasa putus asa.
2. Khauf Ibadah, misalnya seseorang yang takut kepada orang lain dalam rangka beribadah kepadanya. Perasaan takut yang semacam ini hanya boleh diarahkan hanya kepada Allah semata. Dan memalingkan rasa takut seperti ini kepada selain Allah adalah merupakan kesyirikan yang besar.
3. Khauf Sirr, perasaan takut yang tersembunyi. Misalnya takutnya seseorang kepada penghuni kuburan tertentu atau kepada wali yang berjauhan tempat dengannya, yang tidak dapat memberikan pengaruh apapun kepadanya, akan tetapi ia memiliki perasaan takut yang tersembunyi kepadanya, maka takut yang seperti ini disebut oleh para ulama sebagai salah satu bentuk kesyirikan pula.

Allah menejelaskan dalam firman-Nya
فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Q.S. ali Imran : 175)

Raja’

Raja’ adalah harapan manusia kepada suatu perkara yang mudah diperoleh, atau perkara yang sukar diperoleh tetapi dianggap mudah.
Raja’ yang mengandung makna kerendahan dan ketundukan hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Mengarahkannya kepada selain Allah dapat menyeret seseorang dalam jurang kesyirikan baik itu syirik kecil atau besar. Yang kesemuanya tergantung dari apa-apa yang terdapat di hati orang yang berharap tersebut.
Wajib kita ketahui bahwa raja’ yang terpuji hanyalah dimiliki oleh orang yang mentaati Allah seraya mengharap pahala ketaatan tersebut, atau orang yang bertaubat dari maksiat seraya mengharap diterimanya taubat itu. Adapun harapan yang tidak disertai dengan perbuatan, maka tidak lebih dari sekedar kesombongan dan angan-angan yang tercela.

Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. al-Baqarah : 218)
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Q.S. al-Kahfi 110)

Tawakkal

Bertawakkal artinya mengantungkan diri kepada sesuatu. Bertawakkal kepada Allah berarti menggantungkan diri kepada Allah sebagai pemberi kecukupan dalam mendatangkan menfaat dan mencegah mudharat. Tawakal kepada Allah merupakan gambaran kesempurnaan dan tanda iman, karena Allah berfirman :
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". (Q.S. al-Maidah : 23)
Jika seorang hamba benar-benar bertawakal kepada Allah maka Allah akan menjamin akan memberikan kecukupan akan keperluannya. Karena Allah berfirman :
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. (Q.S. al-Thalaq : 3)

Dan kesemuanya adalah ditangan Allah ‘Azza wa Jalla semata, tidak ada sesuatu yang dikehendaki-Nya yang tidak terlaksana.

Tawakal ada beberapa macam :
1. Tawakal kepada Allah ta’ala. Ini merupakan kesempurnaan iman dan salah satu ciri kebenarannya. Hukumnya wajib dan iman tidak sempurna kecuali dengannya.
2. Tawakal terselubung, yaitu apabila seseorang menggantungkan diri kepada mayit dalam rangka mendatangkan manfaat dan menolak mudharat. Ini sangat tidak diragukan lagi bahwa ia adalah Syirik Akbar, karena ia tidak mungkin terjadi kecuali kepada orang yang berkeyakinan bahwa mayit tersebut memiliki kekuasaan tersembunyi untuk mengatur alam. Tidak ada perbedaan apakah mayat tersebut adalah seorang wali, Nabi, Thaghut musuh Allah ta’ala.
3. Tawakal dalam artian menggantungkan kepada orang lain dalam hal yang mampu untuk dilakukan orang tersebut, diiringi dengan perasaan akan tingginya kedudukan orang itu dan rendahnya kedudukan orang yang bertawakal. Misalnya, seseorang bergantung kepada orang lain dalam memperoleh penghidupan, dan sebagainya. Ini merupakan jenis syirik ashghar, karena kuatnya ketergantungan hati kepadanya. Adapun jika seseorang bergantung kepadanya dengan anggapan bahwa ia bukan merupakan sebab, sedangkan Allah ta’ala adalah satu-satunya yang berkuasa untuk mewujudkannya, maka ia tidak berdosa. Jika memang yang ditawakali benar-benar berpengaruh dalam mewujudkannya.
4. Menggantungkan diri kepada orang lain dalam urusan yang sebenarnya menjadi wewenang orang yang bertawakal. Dengan kata lain, ia mewakilkan kepada orang lain, perkara yang memang boleh diwakilkan. Tindakan ini tidak berdosa , berdasarkan dalil dari al-Kitab, al-Sunnah dan Ijma’. Nabi Ya’qub pernah berkata kepada anak-anaknya :
يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya (Q.S. Yusuf : 87)

Nabi SAW pernah mewakilkan urusan pengambilan sedekah kepada para amil dan pegawai, memberi kuasa kepada orang lain untuk membuktikan dan melaksanakan hukuman had, meyerahi Ali ibn Abi Thalib pengelolaan binatang-binatang kurbannya dalam haji wada’, agar Ali menyedekahkan kulit dan pelana binatang-binatang itu dan menyembelih sisa dari seratus binatang-binatang itu, dimana enam puluh tiga diantaranya telah disembelih oleh Rasulullah SAW sendiri.

Syukur
Syukur adalah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukur seorang hamba berkisar pada tiga hal; yang apabila ketiganya tidak berkumpul maka tidaklah dinamakan bersyukur. Tiga dimensi tersebut adalah : mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana ketaatan kepada Allah . Sehingga syukur berkaiatan erat dengan hati, lisan, dan anggota badan.
Syukur memiliki keutamaan bagi seorang hamba, agar ia senantiasa merasakan keutamaan yang telah Allah berikan kepadanya. Allah memerintahkan di dalam firman-Nya :
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.(Q.S. al-Baqarah : 152)
Perintah untuk bersyukur bukan untuk kepentingan Allah Ta’ala, karena Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan segala sesuatu yang ada di alam semesta. Kesemuanya itu adalah untuk kepentingan bagi setiap hamba sebagai wujud sopan santun seorang hamba kepada sang Khaliq. Allah berfirman :
وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".(Q.S. Luqman : 12)
Allah memberikan motivasi bagi setiap hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Nya, Dia akan memberikan tambahan kenikmatan yang telah diberikan bagi hamba tersebut. Sebaliknya bagi siapa saja yang tidak mau bersyukur Allah menyediakan bagi mereka adzab yang pedih.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Q.S. Ibrahim: 7)


Muraqabah
Wajib bagi setiap hamba untuk senantiasa muraqabah(merasa diawasi) oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam setiap perilaku yang ada. Dan harus diyakini bahwasanya Allah adalah selalu mengetahui atas apa-apa yang ada dalam hati seorang hamba, sehingga ditanamkan dalam diri seorang hamba tersebut rasa selalu dilihat dan diawasi oleh Allah SWT. Dan seandainya seorang hamba tidak dapat melihat Allah maka ia harus meyakini bahwasanya Allah senantiasa mengawasi dirinya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.(Q.S. al-Nisa : 1)
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”.(Q.S. Ghafir : 19)
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ  الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ  وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.(Q.S. al-Syuaraa’ : 217-219)

Sebuah bukti dari Allah ta’ala bahwa Ia senantiasa mengawasi gerak-gerik hamba-hamba-Nya, baik dalam keadaan berdiri(dalam shalat), ruku’, ataupun sujud, dan lain sebagainya.
Dalam sebuah ayat lain disebutkan :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”. (Q.S. al-Hadid : 4)

Allah senantiasa bersama para hamba-Nya dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh-Nya, Dia berada bersemayam di atas ‘Arsy-Nya jauh dan berbeda dari para hamba-Nya. Dimanapun seorang hamba berada Allah selalu mengetahuinya, apakah di daratan, lautan, siang, malam, dalam rumah ataupun dibangunan yang kokoh, kesemuanya berada dalam genggaman ilmu Allah.
Yang harus kita tekankan dalam masalah kebersamaan Allah bersama para hamba-Nya adalah bukan kebersamaan Dzat Allah bersama para hamba, akan tetapi kebersamaan ilmu Allah dengan para hamba-Nya. Dan ini adalah pemahaman yang dimiliki dan kita warisi dari para Sahabat Nabi SAW, Tabi’in, dan para pengikutnya yang lurus dalam menempuh manhaj mereka-semoga ridha Allah selalu bersama mereka-.

Rasulullah SAW menjelaskan tentang ma’iyyah Allah bersama hamba-Nya sebagaimana dapat kita lihat dalam hadits Jibril yang cukup panjang, beliau menjelaskan definisi tersebut sebagaimana definisi Ihsan :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ , فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau menyembah Allah seakan-akan Allah melihat dirimu, dan seandainya engkau tidak dapat melihat Allah maka sesungguhnya Allah melihat dirimu”. (H.S.R. Muslim)

Taubat

Taubat berasal dari bahasa Arab تَابَ – يَتُوْبُ – تَوْبَةً yang memiliki arti jika kembali. Dan dari kaidah syar’i taubat memiliki makna kembalinya seorang hamba dari bermaksiat kepada Allah menuju keta’atan kepada-Nya. Diantara taubat yang paling utama dan paling agung adalah kembalinya seorang hamba dari kekufuran menuju keimanan kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu".(Q.S. al-Anfal : 38)

kemudian disusul yang kedua yaitu taubatnya hamba dari dosa-dosa besar, dan yang ketiga taubatnya hamba dari dosa-dosa kecil.
Oleh karena itu sangatlah wajib bagi seorang hamba untuk senantiasa bertaubat kepada Allah Ta’ala dari dosa-dosa yang pernah mereka lakukan.
Syarat taubat ada 3 hal , :
1. Hendaknya seorang hamba berlepas diri dari kemaksiatan kepada Allah
2. Hendaknya seorang hamba menyesal dari apa-apa yang pernah ia kerjakan dalam masalah maksiat kepada-Nya
3. Hendaknya seorang hamba berjanji kepada Allah dan dirinya untuk tidak kembali kepada dosa-dosa yang pernah ia lakukan sebelumnya selama-lamanya.

Akan tetapi apabila sebuah dosa atau maksiat ini berhubungan dengan hak antar sesama hamba maka di tambah dengan satu syarat lagi yaitu:
4. Mengembalikan apa-apa yang menjadi hak dari orang yang telah di dzhalimi, apabila berupa barang maka harus dikembalikan, apabila berkaitan dengan hak-hak yang lain maka hendaknya meminta permohonan maaf, dan lain sebagainya.

Ada tambahan syarat taubat yang sangat penting pula dan merupakan salah satu syarat taubat yang tidak dapat dipisahkan yaitu :
5. Hendaknya taubat seorang hamba tersebut adalah pada saat waktu-waktu dimana sebuat taubat itu diterima oleh Allah, karena apabila sebuah taubat dilakukan seorang hamba pada waktu dimana taubat tidak dapat diterima tentunya sangatlah tidak bermanfaat ketika itu. Sebagaimana digambarkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya :
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih”.(Q.S. al-Nisa : 18)

Allah berfirman :
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(Q.S. al-Nur : 31)

dalam ayat yang lain disebutkan :
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian)”.(Q.S. Huud : 3)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
” Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai ’’.(Q.S. al-Tahrim : 8)

Rasulullah SAW senantiasa bertaubat kepada Allah meskipun dosa-dosa beliau sudah diampuni Allah baik yang telah lampau ataupun yang akan datang. Akan tetapi beliau tetap melaksanakannya sebagai perwujudan seorang hamba yang senantiasa bersyukur. Disebutkan dalam sebuah riwayat:
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
”Berkata Abu Hurairah : Aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata : “ Demi Allah , sungguh aku selalu memohon ampun kepada Allah dan taubat kepada-Nya dalam satu hari tidak kurang dari tujuh puluh kali”. (H.S.R. Bukhari )

bahkan dalam riwayat yang lain pernah beliau memberikan motivasi kepada para sahabat beliau, :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya aku senantiasa memohon taubat kepada Allah dalam satu hari seratus kali”.(H.S.R. Muslim)

dalam sebuah riwayat disebutkan pula:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah selalu membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang bermaksiat di siang harinya, dan Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang bermaksiat di malam harinya. Dan ini berlangsung hingga terbitnya matahari dari tempat tenggelamnya(kiamat).“(H.S.R. Muslim)

Sekilas tentang Al Asma' al Husna

Asma wa Sifat Allah dan manhaj Ahlus Sunnah di dalam masalah ini.

I. Al-Asma’ wa al-Sifat Allah dalam tinjauan Aqidah Islam.

Keberadaan al-asma’ dan al-Sifat milik Allah adalah sangat agung kedudukannya di dalam agama Islam. Dimana keberadaan tersebut adalah sebagai salah satu asas pondasi Islam dalam masalah keimanan(aqidah) seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keimanan kepada al-asma’ wa al-sifat (tauhid al-asma’ wa al-sifat) memiliki definisi yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut apa yang pantas bagi Allah SWT, tanpa adanya penyimpangan makna dari apa-apa yang dikehendaki oleh-Nya(seperti ta’wil, ta’thil , takyif , ataupun tahrif .). Pemahaman ini berdasarkan dari firman Allah ta’ala, yang artinya :
“Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”(Q.S. asy-Syura : 11).
Allah menafikkan jika ada sesuatu yang menyerupai diri-Nya, dan Dia menetapkan bahwa Dia adalah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka Dia diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk diri-Nya dalam kitrab-Nya dan dengan nama dan sifat yang diberikan oleh Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dalam hal ini apa-apa yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah tidak boleh dilanggar, karena tidak seorangpun yang lebih mengetahui tentang Allah daripada Allah sendiri. Serta tidak ada (-sesudah Allah) seorangpun yang lebih mengetahui tentang Allah daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka barangsiapa yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau menamakan Allah dan mensifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluq-Nya, atau menta’wilkan nama-nama dan sifat-sifat tersebut dari makna yang benar, maka sesungguhnya ia berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan rasul-Nya.
Allah berfirman yang artinya :
“Siapakah yang lebih Zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah ???”(Q.S. al-Kahfi : 15)


II. al-Asma’ al-Husna

Allah ta’ala berfirman, yang artinya:
“Hanya milik Allah al-asma’ al-husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ husna itu dan tinggalkannlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa-apa yang telah mereka kerjakan”.(Q.S. al-A’raf : 180)

Dari ayat yang mulia diatas, ada beberapa hal yang dapat kita petik :
1. Menetapkan nama-nama untuk Allah ta’ala, maka barangsiapa yang menafikan nama-nama Allah tersebut berarti ia telah menafikan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri, secara otomatis pula ia telah menentang Allah.
2. Bahwasanya asma’ Allah ta’ala semuanya adalah husna, maksudnya sangat baik. Karena ia mengandung makna dan sifat-sifat yang sempurna, tanpa adanya kekurangan dan cacat sedikitpun. Dan bukanlah nama-nama tersebut hanya sekedar nama-nama kosong semata tanpa memiliki makna dan arti.
3. Sesungguhya Alah memerintahkan berdoa dan ber-tawassul kepada-Nya dengan nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini, menunjukkan keagungannya serta kecintaan Allah kepada doa yang disertai nama-nama-Nya.
4. Bahwasanya Allah ‘azza wa Jalla mengancam orang-orang yang ilhad dalam asma’-Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka yang buruk.

Diriwayatkan dalam tafsir ibnu Katsier bahwasanya pernah suatu ketika salah seorang musyrik mendengar doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengucapkan dalam sujud beliau “Yaa Allah, yaa Rahman ..”. Maka orang tersebut berkata :”Sesungguhnya Muhammad mengaku hanya menyembah kepada satu Tuhan, sedangkan ia saat ini menyembah dua tuhan????”. Sehingga Allah menurunkan sebuah ayat dari al-Quran surat al-Isra’ : 110, yang artinya:
“Katakanlah! :’Serulah Allah atau serulah al-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asma’ al-husna(nama-nama yang terbaik)…..”
Sehingga dari kisah di atas dapat kita ambil hikmah bahwasanya Allah sangat menyukai apabila seorang hamba memohon kepada-Nya dengan seruan nama-nama yang Allah miliki sesuai dengan keinginan hamba tersebut. Dan seorang hamba dapat memilih diantara nama-nama tersebut yang ia suka, seperti dengan seruan “Yaa Allah,…yaa Rahman, yaa Ghaffar….” dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan akan tetapnya nama-nama Allah tersebut dan masing-masing dari nama Allah tersebut bisa digunakan sesuai dengan maqam dan suasananya, karena kesemuanya adalah husna.
Allah berfirman dalam surat yang lain yang artinya:
“Dialah Allah, tiada tuhan yang berhak untuk disembah melainkan Dia. Dia mempunyai al-asma’ al-husna”. (Q.S. Thaha : 8).


III. Kandungan al-Asma’ al-Husna

Nama-nama Allah yang mulia adalah bukan sekedar nama yang kosong dari makna dan sifat. Dari nama-nama Allah tersebut menunjukkan akan keagungan sifat yan dimiliki Allah dan kemuliaan nama yang dimiliki-Nya. Setiap nama menunjukkan akan sifat yang terkandung didalamya. Sebagaimana nama Allah al-Rahman dan al-Rahim, kedua nama ini menunjukkan akan sifat rahmah(kasih sayang), al-Sami’ dan al-Bashir, dua nama ini menunjukkan sifat mendengar dan melihat. al-‘Alim menunjukkan akan sebuah sifat ilmu yang tiada terkira luasnya. Al-Karim menunjukkan sifat karam(mulia dan dermawan). Al-Khaliq menunjukkan Dia adalah Zat yang menciptakan, dan al-Razzaaq menunjukkan Dia memberi rizqi dengan jumlah yang sangat banyak. Begitulah seterusnya, setiap nama dari nama-nama-Nya menunjukkan sifat dari sifat-sifat-Nya.
Syaikh al-Islam Al-Imam ibnu Taimiyyah mengatakan : “Setiap nama dari nama-nama-Nya menunjukkan kepada Dzat yang disebutnya dan sifat yang dikandungnya, seperti al-’Alim menunjukkan Dzat dan ilmu, al-Qadir menunjukkan Dzat dan qudrah(kekuasaan), al-Rahim menunjukkan Dzat dan sifat Rahmat…”
Al-Imam ibnu Qayyim al-Jauziah pernah mengatakan :
“Nama-nama Rabb Subhanahu wa ta’ala menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, karena nama-nama tersebut di ambil dari sifat-sifat-Nya. Jadi ia adalah nama sekaligus sifat dan karena itulah ia menjadi husna. Sebab andaikata ia hanyalah lafadz-lafadz yang tidak memiliki makna maka tentunya tidak akan disebut husna, juga tidak menunjukkan pujian dan kesempurnaan. Jika demikian tentu diperbolehkan meletakkan nama intiqam(balas dendam) dan ghadhab(marah) pada tempat rahmat dan ihsan, atau sebaliknya. Sehingga boleh dikatakan : “Yaa Allah sesungguhnya aku telah menzalimi diri saya sendiri, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya Engkau adalah al-Muntaqim(Maha membalas Dendam). Yaa Allah anugerahilah aku, karena Engkau adalah adh-Dharr(Yang Maha Memberi Mudharat) dan al-Mani’(Yang Maha Menolak)……”dan yang semacamnya. Lagipula kalau tidak menunjukkan arti dan sifat, tentu tidak diperbolehkan memberi kabar dengan masdar-masdarnya dan tidak boleh menyifati dengannya. Tetapi kenyataannya Allah sendiri telah mengabarkan tentang diri-Nya dengan masdar-masdar-Nya dan menetapkan untuk diri-Nya dan telah ditetapkan oleh Rasul-Nya untuk-Nya, sebagaimana dalam sebuah ayat dijelaskan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi Rizqi Yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh”.(Q.S. Al-Dzariyat : 58).
Dari sini diketahui bahwa al-Qawiy adalah salah satu nama-nama-Nya yang memiliki makna “Dia Yang memiliki Kekuatan”. Demikian halnya dengan firman-Nya yang lain :
“…Maka bagi Allah lah kemuliaan itu semuanya…” (Q.S. al-Fathir : 10).
Al-‘Aziz adalah “Yang memiliki Izzah(kemuliaan)”. Seandainya tidak memiliki kekuatan dan izzah (kemuliaan) maka tidak boleh dinamakan al-Aziz dan al-Qawiy. Demikian penjelasan ibnu Qayyim al-Jauziah .

IV. Penjelasan tentang sebagian sifat-sifat Allah.

Sifat-sifat yang disebutkan Allah tentang diri-Nya ada dua macam sifat; Sifat Tsubutiyyah dan Sifat Salbiyyah.
Sifat Tsubutiyyah adalah setiap sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk Diri-Nya di dalam al-Quran ataupun yang melalui sabda Rasulullah . Sifat-sifat ini adalah sifat kesempurnaan, tidak menunjukkan sama sekali cela ataupun kekurangan. Sifat Tsubutiyyah ini terbagi menjadi dua bagian :
Bagian pertama adalah sifat dzatiyah, yaitu sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya Sifat ini tidak terpisah dari Dzat-Nya. Seperti (القدرة) Maha Berkuasa. Dalam sekian banyak ayat al-Quran dijelaskan perihal sifat al-Qudrah ini sebagaimana dalam contoh berikut:
“….dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Q.S. al-Maaidah : 120)
”Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. (Q.S al-Baqarah : 20)
”Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : ‘Jadilah, maka terjadilah ia ”. (Q.S. Yasin : 82)
Maka seluruh makhluq-Nya, baik yang di atas maupun yang di bawah, menunjukkan kesempurnaan qudrah-Nya yang menyeluruh. Tidak ada satupun partikel yang dapat keluar dari-Nya. Dan sangat cukuplah menjadi dalil bagi seorang hamba manakala ia melihat kepada penciptaan dirinya, bagaimanakah Allah menciptakannya dalam bentuk yang paling baik, membelah baginya pendengaran dan pengelihatannya, menciptakan sepasang mata untuknya, sebuah lisan dan sepasang bibir. Kemudian apabila ia melayangkan pandangannya ke seluruh jagad raya ini maka ia akan melihat berbagai keajaiban qudrah-Nya yang menunjukkan akan keagungan-Nya. Dan sifat Allah yang lain sebagainya.
Bagian kedua adalah sifat fi’liyyah, yaitu sifat yang Allah perbuat jika berkehendak. Seperti bersemayam di atas ‘Arsy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir dari malam, dan datangnya Dia pada hari kiamat. Banyak dari sifat Allah pada bagian kedua ini diingkari oleh sebagian kaum muslimin yang cenderung mengedepankan akal mereka di atas nash(dalil) baik itu dari al-Quran ataupun hadits yang shahih.
Di dalam al-Quran al-Karim, Allah telah mengabarkan akan bersemayamnya diri-Nya di atas ‘Arsy. Ada tujuh ayat di berbagai surat dalam al-Quran yang menjelaskannya. Sebagaimana dalam surat al-A’raf :
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy ”.(Q.S. al-A’raf : 54).
Pada surat Yunus:
”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy “.(Q.S. Yunus : 3)
dan pada surat yang lainnya seperti (Q.S. ar-Ra’d : 2), (Q.S. Thaha : 5), (Q.S. al-Furqan : 59), (Q.S. al-Sajdah : 4), dan (Q.S. al-Hadid : 4).
Dalam ketujuh ayat di atas lafadz istiwa’ datang dalam bentuk dan lafadz yang sama. Maka hal ini menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah maknanya yang hakiki yang tidak menerima ta’wil, yaitu ketinggian dan keluhuran-Nya di atas ‘Arsy .
‘Arsy dalam tinjauan etimologi Bahasa Arab adalah singgasana untuk raja, akan tetapi yang dimaksudkan dengan ‘Arsy di sini adalah singgasana yang memiliki beberapa kaki yang dipikul oleh para malaikat-Nya , ia merupakan atap bagi semua makhluq. Dan bersemayamnya Allah di atasnya ialah yang sesuai dengan keagungan-Nya. Kita tidak mengetahui kaifiyah(cara)-nya, sebagaimana kaifiyah sifat-sifat-Nya yang lain. Akan tetapi kita hanya menetapkannya sesuai dengan apa yang kita fahami dari maknanya dalam Bahasa Arab, sebagaimana sifat-sifat lainnya.

Sifat Salbiyyah adalah setiap sifat yang dinafi’kan (ditiadakan) Allah ‘Azza wa Jalla bagi Diri-Nya melalui al-Quran ataupun sabda Rasul-Nya . Dan seluruh sifat ini adalah sifat kekurangan dan tercela bagi Allah, contohnya : maut(mati tidak hidup), naum(tidur), jahl(bodoh), nisyan(kelupaan), ‘ajz(kelemahan), ta’ab(lelah dan capek),dan lain-lainnya. Sifat-sifat tersebut wajib dinafi’kan dari Allah Ta’ala berdasarkan keterangan di atas, dengan disertai penetapan sifat kebalikannya secara lebih sempurna. Sebagai contoh permisalan, menafi’kan maut(mati) dan naum(tidur), berarti menetapkan kebalikannya bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Hidup dengan sempurna. Menafi’kan jahl(bodoh), berarti menetapkan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui dengan ilmu-ilmu-Nya yang sempurna.

V. Apakah al-asma’ al-husna terikat dengan bilangan tertentu?

Asma’(nama-nama) Allah tidak terikat dengan bilangan tertentu, hal ini adalah berdasarkan riwayat Rasulullah  dalam sebuah hadits yang masyhur :
أَسْأَلُكَ بِكُلَّ اْسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْـزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ , أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ , أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ .
“Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-nama-Mu, yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada seseorang diantara makhluq-Mu, atau masih dalam rahasia Ghaib pada-Mu yang hanya Engkau sendiri mengetahuinya”. (H.S.R. Ahmad, ibnu Hibban dan al-Hakim).
Padahal sesuatu yang masih dalam rahasia ghaib dan hanya diketahui oleh Allah semata tidak mungkin dapat dihitung atau diketahui dengan pasti oleh seseorang. Mungkin dalam sebagian pemahaman masyarakat muslimin akan bertanya-tanya tentang keberadaan sebuah riwayat yang masyhur dan disandarkan pengucapan riwayat tersebut kepada Rasulullah  yang berbunyi :
إِنَّ ِللهِ تِسْعَةُ وَتِسْعِيْنَ اِسْماً , مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya ada bagi Allah sembilan puluh sembilan(99) asma(nama), seratus kurang satu, yang barang siapa dapat menghitungnya akan masuk sorga”.
Ada sebuah penjelasan yang cukup bisa menjawab permasalahan di atas, al-Imam asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin-rahimahullah- menjelaskan:
“Hadits di atas tidak menunjukkan bahwa asma Allah hanya sejumlah 99 ini saja. Andaikata maksud hadits ini demikian tentu susunan redaksi kalimatnya adalah sebagai berikut :
إِنَّ أَسْمَاءَ اللهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اِسْماً , مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya asma’ Allah ada sembilan puluh sembilan(99) asma(nama), seratus kurang satu, yang barang siapa dapat menghitungnya akan masuk sorga”.
Karena pengertian riwayat di atas yaitu bahwa sembilan puluh sembilan asma’ ini diantara yang menghafal dan menghitungnya akan masuk ke dalam surga. Hal in disebabkan karena susunan kalimat “man ahshaaha dakhala al-jannah” merupakan kalimat pelengkap , dan bukan kalimat terpisah yang berdiri sendiri. Sebagai contoh seperti ini bila ada Anda mengatakan : ’’Saya punya uang 100 dirham yang saya persiapkan untuk sedekah ’’, yang mungkin dalam hal ini memiliki arti bisa saja Anda memiliki dirham-dirham lain yang tidak Anda persiapkan untuk bersedekah.
Dan sesunguhnya tidak benar adanya penyusunan asma Allah tersebut berasal dari Nabi  , dan riwayat yang berkenaan dengan hal ini adalah lemah(dha’if) . Demikian penjelasan beliau –rahimahullah- secara ringkas.

Senin, 12 Oktober 2009

Jimatku yang ku sayang .....:(

Mengenal jimat atau kalung yang dikeramatkan

Tamimah dan Wada’ah


Dalam pembahasan yang berkaitan dengan bab ini tidak akan lepas dari dua buah istilah di atas yaitu Tamimah dan Wada’ah.

Tamimah adalah sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal atau menolak ‘ain(semacam penyakit atau musibah yang disebabkan sebuah pandangan hasad/iri dengki seseorang terhadap orang lain yang dihasadinya).
Terkadang yang dikalungkan bentuknya bermacam-macam, ada yang berupa tulisan(Arab dan lain sebagainya) yang apabila di baca tulisan tersebut terkadang tidak memiliki makna yang jelas, dan hanya di fahami oleh orang yang membuatnya. Dalam hal ini ulama’ ahlu al-Sunnah sepakat akan keharaman pemakaian hal-hal yang seperti ini. Akan tetapi apabila tulisan tersebut berasal dari ayat-ayat al-Quran, sebagian ulama ada yang memperbolehkannya, dan sebagian yang lain tetap memandang hal tersebut termasuk yang dilarang dan diharamkan oleh Islam, sebagaimana pendapat ibnu Mas’ud. R.A.
Wada’ah adalah sesuatu yang dikalungkan di leher atau bagian tubuh yang lain, berasal dari rumah hewan sejenis siput di laut(kul buntet/kerang), dengan tujuan untuk menolak penyakit demam, atau pengusir ‘ain dan lain sebagainya.
Dikalangan masyarakat yang sangat mejemuk, akan kita temui sekian banyak fenomena kebudayaan yang berkembang dan bahkan terkadang dijadikan sebagai bagian dari keyakinan aqidah masyarakat yang mendarah daging tumbuh subur dan sangat sulit untuk dihilangkan. Sebagai permisalan, pada zaman dahulu tentunya istilah bahan pusaka adalah bukan sebagai sesuatu yang asing bagi masyarakat. Bahkan terkadang bahan pusaka tersebut merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi orang yang dapat memeliharanya dengan baik, seperti jenis senjata : panah dan busurnya, tombak, pedang, keris, dan lain-lainya, atau dari jenis perhiasan seperti kalung, gelang, anting-anting, cincin dan lainnya. Dimana pada saat itu barang-barang pusaka tersebut tidak lepas dari unsur ikatan magic/supranatural dan diyakini(oleh masyarakat) bahwa benda tersebut memiliki kekuatan besar yang dapat memberikan manfaat (bagi orang yang menghormati benda tersebut), atau bahkan memberikan mudharat (bagi orang yang melecehkannya).
Kisah-kisah tersebut bukanlah sekedar omong kosong, di zaman era modern ini pun masih banyak sisa-sisa masyarakat yang masih mau percaya dan meyakini akan kehebatan kekuatan yang dimiliki oleh beberapa benda pusaka sisa-sisa sejarah zaman dahulu. Kalangan inipun mau berkorban harta, benda bahkan jiwa raga mereka untuk mempertahankan kepercayaan atau mendapatkan sisa-sisa dari benda yang di anggap mereka keramat. Keyakinan mereka sangat kuat, rasa tawakkal yang dipasrahkan kepada benda-benda pusaka tersebut, kesialan, keberuntungan akan hidup dan sebagainya kesemuanya adalah tergantung dari benda-benda itu.
Akan tetapi dengan adanya keberadaan Islam dan apa-apa yang di bawa oleh agama Islam tentunya merupakan suatu hal tersendiri dalam mengukur nilai-nilai religi yang berkaitan dengan hal-hal khurafat di atas. Islam memandang keberadaan fenomena tesebut sebagai sebuah ikatan kerjasama yang erat antara manusia dan iblis(dari kalangan jin tertentu). Sebagaimana firman Allah yang menggambarkan akan hal ini dalam surat Jin:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”.(Q.S. Jin : 6)

Pada hakikatnya tidaklah bahan atau benda-benda pusaka tersebut memiliki kekuatan tertentu kecuali si pemilik benda tersebut mengikat kerjasama dan perjanjian dengan jin-jin tertentu. Dan secara otomatis Islam memberikan konsekuensi tertentu bagi siapa saja yang melakukan perbuatan tersebut di atas dengan sebutan syirik, khurafat, dan bid’ah. Dikatakan suatu hal yang bid’ah(baru) karena hal tersebut di atas memang bukan dari ajaran Islam yang di bawa oleh Rasulullah SAW. Demikian pula dikatakan suatu perkara khurafat karena hal tersebut di atas selalu diiringi dengan berbagai kepercayaan mistis yang Islam mengingkari dan melarang akan hal tersebut. Dikatakan perkara syirik karena perbuatan tersebut di atas senantiasa tidak lepas dari ikatan perjanjian antara manusia dan jin yang menggunakan perantara “pengorbanan” atau “tumbal” dan lain sebagainya. Dan Allah dengan sangat tegas melaknat dan melarang akan hal ini dan dihukumi pelakunya sebagai orang yang kafir dan syirik.

Allah berfirman :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”,(Q.S. al-An’am : 162)

dalam sebuah hadits Nabi SAW disebutkan :
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Allah melaknat bagi siapa saja yang menyembelih(berkorban) untuk selain Allah”.(H.S.R. Muslim)

Pandangan Islam terhadap keberadaan jimat dan yang semacamnya

Keberadaan para Nabi dan Rasul adalah dalam rangka mengemban sebuah tugas yang sama dari Allah ‘Azza wa Jalla untuk mereka dakwahkan kepada para umat mereka yaitu meng-esakan Allah dalam peribadahan. Sebuah tugas yang sangat berat dan senantiasa mereka akan dimusuhi oleh musuh-musuh Allah baik itu dari kalangan Jin /Syaithan ataupun manusia. Dimana sudah sangat dikenal perihal permusuhan yang akan dan senantiasa terjadi antara dua hal yang sangat berlawanan yaitu tauhid dan syirik.
Allah menjelaskan dalam al-Quran tentang tugas utama para Rasul dan Nabi tersebut :

Disamping itu keberadaan penggunaan jimat atau yang sejenisnya dalam rangka menolak mudharat dan mendatangkan manfaat dikalangan masyarakat kaum muslimin masih sangat melekat. Terkadang penggunaan sarana-sarana tersebut dibumbui dengan bumbu-bumbu “yang terkesan Islamy” sehingga banyak menipu masyarakat awam dan secara tidak sengaja akan menggugurkan aqidah mereka, sehingga tanpa sadar mereka berada di tepi jurang api neraka. Allah menjelaskan dalam surat az-Zumar (39): 38
قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.(Q.S. al-Zumar: 38)

Banyak pula di antara kalangan masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaanya dalam masalah penggunaan jimat-jimat berdalih bahwa saesungguhnya jimat-jimat tersebut hanyalah sebagai perantara/washilah (yang akan membantu mereka dalam mendatangkan keberuntungan/kekuatan ataupun menolak kesialan dan kelemahan), karena sesungguhnya mereka meyakini pula bahwa hal tersebut adalah datangnya dari Allah semata. Hal ini tidak lepas dari lemahnya masyarakat Islam dalam masalah iman dan Aqidah yang benar, disamping itu lemahnya kemampuan edukasi/pendidikan Islam dan jauhnya pemahaman mereka dari cahaya Islam adalah merupakan beberapa faktor yang menyebabkan mereka berkeyakinan yang sedemikian.
Ada sebuah kisah menarik bersumber dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad,dan yang Ibnu Majah dalam sunan beliau, dimana dikisahkan :
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا فِي يَدِهِ حَلْقَةٌ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ مَا هَذِهِ الْحَلْقَةُ قَالَ : هَذِهِ مِنَ الْوَاهِنَةِ , قَالَ : انْزِعْهَا فَإِنَّهَا لَا تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا, فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
Dari sahabat Imran ibn Husain RA, ia menuturkan, pernah suatu hari Rasulullah SAW melihat seorang laki-laiki yang ditanganya terdapat sebuah gelang yang berasal dari kuningan. Lalu beliau SAW bertanya : “Apa ini??” Orang tersebut menjawab : “Untuk menangkal sakit/menambah kekuatan”, Nabi-pun bersabda : “Lepaskan(tarik dan putus) gelang itu, karena ia hanya akan menambah kelemahan dalam dirimu. Sebab jika suatu saat engkau mati wahai pemuda, sedangkan gelang tersebut masih menempel dalam tubuhmu niscaya dirimu tidak akan beruntung selama-lamanya.”(dengan sanad yang bisa diterima).
Dari kisah diatas dapat kita petik beberapa pelajaran penting bahwasanya permasalahan penggunaan jimat atau yang semisalnya(dalam rangka menambah keberuntungan dan menolak kesialan) adalah sudah ada dan dipercaya oleh masyarakat waktu itu. Akan tetapi ketika Rasulullah SAW melihat seseorang yang mengguanakan benda-benda yang semacam ini beliau SAW mengignkari perbuatan tersebut dengan sangat keras dan tegas. Lebih lanjut beliau SAW memberikan gambaran apabila benda-benda tersebut masih senantiasa dipergunakan, ada sebuah konsekuensi tersendiri dengan sebuah ancaman ke-tidak beruntungan selama-lamanya, dan bukanlah keberuntungan yang akan diperoleh.

Dalam riwayat yang lain(dalam al-Musnad Imam Ahmad) dikisahkan:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ إِلَيْهِ رَهْطٌ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ وَاحِد,ٍ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ بَايَعْتَ تِسْعَةً وَتَرَكْتَ هَذَا , قَالَ : " إِنَّ عَلَيْهِ تَمِيمَةً " فَأَدْخَلَ يَدَهُ فَقَطَعَهَا فَبَايَعَهُ , وَقَالَ : " مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ "
Dari sahabat ‘Uqbah bin Amir al-Juhani menceritakan bahwa pernah suatu ketika Rasulullah SAW menerima kedatangan sekelompok orang yang ingin berbaiat kepada beliau. Kemudian beliau membaiat sembilan orang yang ada dan menolak seorang lainnya. Sehingga para sahabat bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, engkau membaiat sembilan orang ini, akan tetapi mengapa engkau menolak satu orang ini?. Dan dijawab oleh beliau :”Karena orang ini membawa tamimah(semacam jimat,pent)”. Lalu ia memasukkan tangannya dan memotong jimat tersebut, setelah itu Rasulullah SAW mau menerima baiatnya. Lalu beliau bersabda : “Barang siapa menggantungkan tamimah, maka ia telah musyrik”. (al-Hakim juga meriwayatkan dengan lafadz yang sama dengan rawi-rawi yang tsiqah/dapat dipercaya).

Keberadaan jimat-jimat dan yang semisal dengannya dalam pandangan Islam adalah sebuah hal yang tercela dan syirik hukumnya. Secara otomatis pelakunya adalah seorang yang musyrik menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Karena mereka bertawakkal dan berharap keberuntungan serta menolak kesialan dan mudharat bukan kepada Allah, akan tetapi melalui washilah benda-benda hina lagi tercela tersebut.

Islam adalah sebuah agama yang kamil(sempurna/lengkap) sehingga Allah sendiri yang memberikan jaminan atas kesempurnaan agama ini. Dalam al-Quran Surat al-Maidah ayat 3 disebutkan :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagimu”…
dan cukuplah ayat di atas sebagai penjelas dan bukti akan kesempurnaan ajaran Islam yang di bawa oleh Rasulullah SAW, dimana beliau telah menunaikan amanah secara sempura. Sehingga sangat tidak layak ada orang yang mengaku dirinya sebagai seorang muslim, akan tetapi masih memiliki keyakinan bahwa ada sisi ghaib lain yang berupa ajaran Islam dan belum dijelaskan oleh Rasulullah Saw.

Jumat, 09 Oktober 2009

صورة الجواب للشيخ أحمد السركتي الأنصاري السلفي

Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Surkati al-Anshari

Kitab S{u>ratu al-Jawa>b

(Studi keabsahan hukum pernikahan antara keturunan Ba Alwi dengan non Ba Alwi)

I. Biografi Syaikh Ahmad al-Surkati :

Beliau dilahirkan di desa Udfu, jazirah Urqu[1] bagian daerah Dongula, Sudan. Pada tahun 1292 H atau 1875 M, ayah beliau bernama Muhammad yang diyakini bernasab pada qabiilah al-khazraj yang bersambung nasab tersebut hingga kepada salah seorang sahabat Jabir ibn Abdillah ibn ‘Amru al-Anshari t. Sehingga gelar nama al-Anshari melekat kepada beliau. Sedangkan nama al-Surkati adalah berasal dari nenek moyang beliau yang ke-empat. Asal mula nama surkati ini adalah dari bahasa penduduk Dongula yang memiliki arti banyak buku. (Dalam bahasa masyarakat Dongula “ سَوْرْ “ memiliki arti “buku”, dan “ كَتِيْ “ dalam bahasa Dongula digunakan sebagai penunjukan makna “yang banyak”) [2]. Karena dikisahkan dahulu nenek moyang Syaikh Ahmad menuntut ilmu di Mesir dan ketika pulang membawa buku yang sangat banyak.

Syaikh Ahmad Surkati berasal dari keluarga yang sangat gemar dalam menuntut ilmu, selain nenek moyang beliau yang memiliki banyak buku, demikian pula halnya dengan ayahanda beliau. Ayah syaikh adalah seorang terpelajar lulusan dari al-Azhar, beliau-pun menyandang gelar “Surkati” dan ketika pulang dari menuntut ilmu ia membawa buku yang banyak.

Syaikh Ahmad Surkati memiliki banyak keistimewaan, diantaranya dalam masalah kecerdasan. Ketika usia muda beliau tidak memiliki kesulitan dalam menghafalkan al-Quran sebagaimana yang dialami teman-teman beliau. Sehingga dengan sangat mudah beliau menghafalkan al-Quran dengan waktu yang sangat singkat. Dikisahkan bahwasanya pada saat usia muda pernah beliau diuji hafalannya dalam sebuah majelis oleh salah satu guru al-Quran [3]. Syaikh Ahmad menghafalkan al-Quran hanya berbekal pada bacaan salah satu teman beliau yang ia dengar satu kali. Sehingga semenjak saat itu Syaikh Ahmad mendapatkan perhatian khusus dari sang guru dalam menuntut ilmu.

Setelah selesai dari menuntut ilmu di masjid al-Qaulid beliau melanjutkan studi ke Ma’had Sharqy Nawa yang diasuh oleh salah seorang ‘alim terkenal di sana. Di tempat ini pula beliau memiliki keistimewaan yang menonjol dalam masalah kecerdasan sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya dengan waktu yang singkat.

Selesai dari studi di Ma’had Sharqy Nawa, Syaikh Ahmad melanjutkan studi beliau ke kota Madinah al-Munawarah. Diantara guru-guru beliau yang terkemuka dalam bidang hadits adalah Syaikh Fa>lih} [4] dan Syaikh ‘Umar H{amda>n [5] keduanya berasal dari Maroko. Kemudian dalam ilmu fiqih beliau belajar kepada Syaikh Ah}mad ibn al-Ha>jj ‘Ali> al-Majdhu>b[6], sedangkan dalam ilmu qiraat beliau belajar kepada Syaikh al-Khuyari> al-Maghriby[7], serta belajar bahasa Arab kepada Syaikh Ah}mad al-Barzanjy al-Madi>ni>[8]. Di kota Madinah ini Syaikh Ahmad tinggal kurang lebih selama empat tahun setengah.

Kemudian beliau melanjutkan menuntut ilmu di kota Makkah, dan di kota ini Syaikh mendapatkan gelar kehormatan dari majelis Ulama Makkah sehingga mendapatkan sebutan al-‘Alla>mah. Salah seorang kakak kandung Syaikh yang bernama Sati Muhammad Surkati menuturkan bahwasanya tidak ada orang Sudan yang mendapatkan gelar yang semacam ini sebelumnya,walaupun pada saat itu banyak ulama Sudan yang tinggal di kota Makkah. Hal ini disebabkan bahwasanya konon ulama’ Makkah sangat selektif dalam memberikan pujian dan gelar sanjungan kepada orang-orang ‘Aqi> (orang yang bukan berasal dari negeri Hijaz).

Diantara guru-guru beliau di Makkah adalah Syaikh As’ad dan Syaikh Abdurrama>n yang merupakan putera tertua dari Syaikh al-Kabi>r Ah}mad al-Duh}a>n. Selain beliau berdua Syaikh Ahmad juga belajar kepada al-’Alla>mah Syaikh Muh}ammad ibn Yu>suf al-Khayya>t} dan Syaikh Shu’ayb ibn Mu>sa> al-Maghribi>. Akhirnya beliau (Syaikh Ahmad) mendapatkan ijazah pada tahun 1326 H, dan sejak saat itu beliau mulai mengajar secara resmi di Masjid al-H{ara>m Makkah[9]. Selain itu beliau juga mengajar di beberapa madrasah lain di Makkah.

Dalam mengembangkan pandangan keilmuan yang dimiliki, beliau banyak berhubungan dengan menulis surat kepada beberapa ulama al-Azha>r, sehingga beliau banyak di kenal oleh mereka. Hingga pada suatu ketika datang utusan Jam’iyat al-Khayr untuk mencari guru dan ulama al-Azha>r merekomendasikan Syaikh Ah}mad Surkati untuk segera dihubungi oleh mereka secara langsung di Makkah.

Setelah utusan Jam’iyat al-Khayr bertemu dengan Syaikh Ahmad Surkati, akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke Indonesia dengan ditemani dua orang sahabat Syaikh yang bernama Syaikh Muhammad Abd al-Hamid al-Sudani dan Syaikh Muhammad Thayyib al-Maghribi. Dan akhirnya beliau meninggalkan Makkah untuk menuju ke Indonesia. [10]

II. Perjalanan dakwah di Indonesia

Kedatangan Syaikh Ahmad Surkati di Indonesia disambut hangat oleh para pengurus Jam’iyat al-khair di Batavia(Jakarta). Kedatangan beliau merupakan jawaban atas undangan Jam’iat al-Khair yang merupakan sebuah lembaga dakwah dan sosial yang membidangi berbagai macam bidang usaha, dan diantaranya adalah pendidikan. Lembaga pendidikan Jam’iyah al-Khair membutuhkan bantuan tenaga pengajar di sekolah-sekolah mereka. Jam’iyat ini dikelola oleh orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan Ba Alwi(keluarga besar Alawi)[11].

III. Keberadaan masyarakat Ba Alwi di Hadramaut [12]

Dijelaskan oleh Syaikh Ahmad al-‘A>qib al-Ans}a>ri dalam salah satu risalah beliau ketika menjelaskan bagaimana perjuangan Syaikh Ahmad Muhammad al-Surkati di pulau Jawa dalam mengajarkan pemahaman Islam yang benar. Dalam risalah beliau dijelaskan bagaimana keadaan masyarakat Arab keturunan Ba Alwi yang sebelumnya hidup di Hadramaut.

Dalam kehidupan mereka di negeri hadharim ada beberapa kejanggalan terutama menyebarnya sebuah pemahaman “bangga dan ‘ujub terhadap keturunan nenek moyang”, terlebih bagi mereka yang ‘mengaku’ memiliki keturunan Ba Alwi(anak keturunan dari Rasulullah r). Rasa ujub ini menutup hati kebanyakan umat Islam (kelangan Ba Alwi) untuk bermalas-malasan dalam beramal shalih, karena mereka beranggapan bahwa keberadaan nasab yang mulia dapat menyelamatkan mereka dari kesalahan yang mereka perbuat dalam kehidupan di dunia. Sehingga mereka yang mengaku keturunan Ba Alwi banyak melakukan kesalahan dan perbuatan dosa, mereka tidak memiliki rasa malu ketika berbuat salah sebagaimana manusia lain merasa malu apabila berbuat hal tersebut. Tidak pula ada dalam diri mereka rasa takut ketika berbuat dosa sebagaimana rasa takut yang dimiliki oleh orang selain mereka. Kesemuanya kembali kepada anggapan dan aqidah mereka, bahwa keberadaan nasab yang mereka miliki dapat menyelamatkannya dari kesalahan apapun yang telah mereka perbuat.

Keberadaan pemahaman yang salah di atas di dukung dengan menyebarnya kebodohan di tengah masyarakat, menyebarnya kebodohan ini berupa beredarnya sekian banyak kisah dan riwayat ‘palsu’ yang dinisbatkan kepada Rasulullah r. Kisah-kisah yang berbau khurafat dan takhayul banyak disebarkan oleh masyarakat Ba Alwi dalam rangka melanggengkan keberadaan mereka di tengah masyarakat. Keberadaan kisah-kisah ‘palsu’ ini sangat menguntungkan bagi keturunan Ba Alwi pada saat itu. Sehingga masyarakat non Ba Alwi dicekoki dengan rasa takut untuk senantiasa menghargai, mengagungkan, menghormati, bahkan mengkultuskan keturunan Ba Alwi baik yang masih hidup ataupun yang telah wafat.

Tentunya dari kisah di atas sangatlah bertentangan dengan keberadaan Islam ketika pertama kali di bawa oleh Rasulullah r, dari realita sejarah dapat kita temukan bahwa kaum muslimin pada zaman tersebut sebagaimana jasad/tubuh yang satu, mereka terikat dengan ikatan keadilan dan persaudaraan Iman dan Islam dan persamaan derajat di mata Allah. Perbedaan derajat hanya ada dalam lingkup amal shalih dan ketakwaan yang dimiliki seseorang. Tanpa melihat dari keturunan atau dari mana orang tersebut. Mereka bangga akan agama yang mereka anut dan yakini(yaitu Islam), persatuan mereka dalam naungan rasa cinta dan Islam. Mereka meyakini akan kemuliaan dan kemerdekaan yang di bawa oleh Islam, mereka saling berlomba untuk mendapatkan kedudukan dan derajat yang tinggi di sisi Allah dengan cara melakukan amal shalih dan berakhlaq mulia. Inilah beda antara pemahaman Islam dahulu dan Islam pada masa setelah bergulirnya zaman.

IV. Keturunan Ba Alwi dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Dalam pandangan masyarakat secara umum, dahulu keluarga keturunan Ba Alwi adalah sosok keturunan yang memiliki “derajat” yang tinggi apabila dibandingkan dengan masyarakat keturunan Arab non Ba Alwi, terlebih lagi apabila dibandingkan dengan masyarakat non Arab. Bahkan di beberapa kalangan, keberadaan mereka(masyarakat Ba Alwi) terkadang “dipercaya” dapat mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hal ini dikarenakan adanya doktrin yang dikembangkan oleh kalangan Ba Alwi kepada masyarakat umum akan keutamaan yang mereka miliki dari kalangan yang lainnya. Yang terkadang kalangan Ba Alwi menggunakan ayat-ayat al-Quran dan sunnah Nabi r sebagai dalil/landasan untuk menguatkan dalam melanggengkan kedudukan dan derajat yang mereka miliki di pandangan masyarakat. Mereka berdalih bahwa dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah n -pun mengajarkan tentang tafadhul [13] atas dasar keturunan.

Diantara dalil-dalil al-Quran yang mereka gunakan sebagaimana yang ditulis oleh Shadaqah Zaini Dahlan[14] dalam menyanggah tulisan Syaikh Ahmad Surkati(S}u>rat al-Jawa>b) :

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat”.[15]

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.[16]

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ

Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.[17]

وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا

Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat pada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.[18]

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain….., [19]

Dalam ayat lanjutan, orang-orang Ba Alwi menjadikan sebagai landasan utama akan keberadaan tafadhul dikalangan ahli al-bayt sebagai golongan yang termulia setelah Nabi r, yang berbunyi :

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[20]

Dan bebapa riwayat hadits yang mereka gunakan dalam memperkuat hujjahnya adalah :

Pertama : Riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat surat al-Ahzab : 33, dan doa Rasulullah r kepada keluarga beliau (Fatimah, Hasan, Husein dan Ali y) yang pada saat itu bersama beliau :

اللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلُ بَيْتِي فَأَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا

Yaa Allah mereka adalah ahlu Bait-ku, hilangkanlah dari mereka segala macam kotoran, dan sucikanlah mereka(dari segala macam kotoran) dengan sesuci-sucinya.[21]

Kedua :

أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ. ثُمَّ قَالَ : وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِيْ

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang didatangi oleh utusan Tuhanku, kemudian aku menyambut utusan tersebut. Dan aku tinggalkan untuk kalian dua hal, pertama adalah kitab Allah yang didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya (bagi manusia). Maka ambillah kitab Allah tersebut dan berpegang teguhlah dengannya. Kemudian beliau n melanjutkan :(Kedua, pent)kemudian adalah ahlu Bait-ku(keluargaku). Semoga Allah senantiasa mengingatkan kalian terhadap ahlu baitku(diucapkan beliau sebanyak tiga kali).[22]

Ketiga:

إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنَ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا

Aku tinggalkan untuk kalian yang selama kalian berpegangteguh dengannya sepeninggalku, tidak akan pernah tersesat. Yang pertama lebih agung daripada yang lainnya(yang kedua) adalah kitab Allah, merupakan tali yang terbentang dari langit ke bumi. Kemudian yang lainnya(keduanya) adalah ahlu bait-ku. Tidak akan berpisah dua hal ini sehingga keduanya bertemu denganku di al-Haudh(telaga). Lihatlah kalian semua, bagaimana kalian akan menggantikan aku dalam kedua hal tersebut.[23]

Dari dalil-dalil di atas tadi akhirnya masyarakat keturunan Ba Alwi beranggapan bagaimanapun perilaku yang mereka lakukan, tetap keberadaan nasab dapat mengangkat dan menyelamatkan mereka. Selain itu, derajat dan kedudukan tinggi yang mereka yakini menyebabkan adanya pemahaman mereka akan ketidak absahan sebuah pernikahan yang dilakukan oleh pihak wanita masyarakat Ba Alwi dengan pria masyarakat non Ba Alwi. Atau dengan kata lain salah satu syarat atau rukun keabsahan sebuah pernikahan adalah adanya kesamaan derajat(kufu’ / kafa’ah). Dan kejadian ini sudah berlangsung sekian lama.

V. Fatwa Solo sebab dan dampaknya

Keberadaan Syaikh Ahmad Surkati di Jam’iyat al-Khair Batavia membawa dampak positif yang sangat cepat, kemajuan akan bidang pengajaran dan hasilnya yang dikembangkan di sekolah-sekolah Jam’iyat ini membuat nama sekolah semakin banyak diminati oleh masyarakat sekitar. Tidak hanya itu saja, perhatian yang sangat besar dari masyarakat secara luas membuat pengurus jam’iyat berkeinginan untuk mendatangkan lagi guru dari luar negeri lewat perantaraan Syaikh Ahmad.

Sangat disayangkan sambutan dan penerimaan yang hangat terhadap Syaikh Ahmad dari pengurus Jam’iyat al-Khair tidak bertahan lama. Terlebih pada tahun ketiga dari kedatangan Syaikh ke Batavia, pernah suatu hari beliau melakukan kunjungan di kota Solo. Di kota ini beliau singgah di rumah salah satu keluarga keturunan Arab al-Hamid, dan pada saat itu Sa’ad ibn Sunkar bertanya tentang keabsahan hukum perkawinan (menurut Allah dan Rasul-Nya) antara Sharifah[24] dengan pria non Sayyid. Dan dijawab oleh beliau dengan jawaban yang tegas “Boleh dan sah menurut hukum shara’ yang adil”.[25] Terhadap jawaban yang seperti ini masyarakat Ba Alwi sangat marah, dan menuntut Syaikh untuk mencabut jawabannya tersebut yang mereka anggap sebagai penghinaan terhadap kedudukan yang mereka miliki selama ini. Mengingat kepercayaan akan kedudukan dan derajat tinggi yang mereka miliki dibandingkan dengan golongan masyarakat lainnya sudah mendarah daging secara turun temurun. Selain itu pula masyarakat Ba Alwi telah mendapatkan sekian banyak penghormatan dan fasilitas dari masyarakat keturunan Arab non Ba Alwi atau non keturunan Arab dengan sebab kepercayaan tersebut. Keberadaan fatwa Syaikh Surkati tentunya akan memberikan dampak negatif bagi mereka yang telah sekian lama sebelumnya mendapatkan banyak keuntungan.

Permintaan untuk mencabut jawaban tersebut ditolak oleh Syaikh Ahmad, dan beliau mengatakan bahwa apa yang ia ucapkan adalah sesuai dengan al-Quran dan al-Sunnah yang shahih. Dan akhirnya beliau-pun menyatakan keberatannya untuk menarik jawaban yang beliau lontarkan ketika di kota Solo. Sehingga sejak saat itu beliau dibenci, difitnah, dan dijauhi oleh mayoritas masyarakat Ba Alwi yang semula menghormati beliau. Melihat gelagat yang tidak baik akhirnya beliau meminta untukmengundurkan diri dari mengajar dan pulang kembali ke Makkah kepada pengurus Jam’iyat al-Khair, akan tetapi pengurus jam’iyat tidak bersedia memberikan tiket perjalanan kepada beliau. Sehingga kemudian, beliau bersama beberapa masyarakat keturunan Arab non Ba Alwi mendirikan Jam’iyat al-Is}la>h} wa al-Irsha>d al-‘Arabiyah.

Keberadaan fatwa Solo semakin menimbulkan keresahan di kalangan Ba Alwi sehingga serangan terhadap fatwa ini dari mereka semakin gencar dilakukan. Mengingat keberadaan fatwa tersebut telah beredar tidak hanya dari mulut ke mulut bahkan sampai ke surat kabar yang beredar. Akhirnya H.O.S Tjokroaminoto selaku pimpinan surat kabar Suluh Hindia meminta beliau untuk menjawab beberapa pertanyaan yang menyangkut fatwa Solo dan meminta beliau untuk memberikan dasar hukum dan contoh-contoh atas fatwa ini[26]. Dalam rangka meluruskan kesimpang siuran fatwa ini akhirnya Shaikh Ahmad Surkati menerbitkan risalah yang berjudul S}u>ratu al-Jawa>b.

VI. S{u>rat al-Jawa>b

Keberadaan risalah S}u>ratu al-Jawa>b merupakan jawaban atas sekian banyak gejolak masyarakat Arab non Ba Alwi dan non Arab terhadap masyarakat keturunan Arab Ba Alwi. Syaikh Ahmad membuka risalah ini dengan beberapa hujjah yang akan mendukung terhadap risalah yang akan dibawakan olehnya.

Beliau memulai dengan menukil beberapa ayat al-Quran dalam kaitan yang berhubungan dengan permasalahan ilmu. Diantaranya :

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya."[27]

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ + إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila`nati Allah dan dila`nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela`nati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.[28]

Dalam masalah wajibnya untuk mengembalikan segala macam perselisihan dan perbedaan beliau mengacu pada beberapa ayat di antaranya :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[29]

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah[30].

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah [31].

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu”[32]

Akhirnya beliau(Syaikh Ahmad Surkati) memulai membuka permasalan yang berkaitan dengan persamaan dan derajat keturunan. Menurut beliau pembagian kabilah dan suku atau nama-nama yang beraneka ragam adalah bertujuan untuk saling mengenal satu sama lainnya. Bahkan diantara berbagai macam agama yang ada dan berkembang juga mengakui bahwa asal mula manusia adalah dari satu keturunan yang sama. Dalam sebuah ayat dibawakan oleh beliau :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal [33].

Berlandaskan ayat yang mulia di atas Syaikh mengisyaratkan bahwa keutamaan yang dimiliki seseorang bukanlah diukur dari keturunan atau nasab yang ia miliki, akan tetapi diukur dari ilmu yang mereka miliki, kemudian amal shalih yang mereka kerjakan dan akhlaq yang mulia. Kedudukan ilmu, amal shalih, dan akhlaq yang mulia adalah lebih utama dan lebih tinggi dibandingkan dengan keberadaan nasab yang diunggulkan. Ada beberapa riwayat dari Rasulullah r yang bisa memberikan pendukung dari teori ini, diantaranya :

وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barangsiapa yang lambat akan amal perbuatannya, nasab(keturunannya) tidak akan mempercepat(dalam membantu amal)nya”[34]

لَيْسَ لِأَحَدٍ فَضْلٌ إِلَّا بِالدِّينِ أَوْ عَمَلٍ صَالِحٍ

“Tidak ada keutamaan yang dimiliki seseorang kecuali dengan agama atau amal shalih”.[35]

لَيْسَ لِأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ إِلَّا بِدِينٍ أَوْ تَقْوَى

“Tidak ada keutamaan yang dimiliki seseorang terhadap orang yang lainnya kecuali dengan agama atau ketaqwaan”[36].

لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

Tidak ada keutamaan bagi keturunan Arab terhadap keturunan non Arab(A'jamiy)demikian pula sebaliknya, tidak ada pula keutamaan yang dimiliki oleh keturunan yang berwarna kulit merah terhadap keturunan yang berkulit hitam, demikian pula sebaliknya. Terkecuali dengan keutamaan ketakwaan(yang mereka miliki).[37]

Setelah memaparkan sekian banyak dalil dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah r Syaikh Surkati menyatakan bahwa keberadaan kelompok manusia yang merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan yang lainnya, dengan sebab adanya keutamaan nasab/keturunan, darah, daging, dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu tidak dilandasi dengan adanya amal shalih dan ilmu yang benar, terlebih lagi apabila hal tersebut disandarkan kepada syariat yang ada[38], maka anggapan ini adalah tertolak. Beliau beralasan bahwa perilaku tersebut tidak ada tauladan dari Rasulullah r, dan Rasulullah r bersabda dalam salah satu riwayat :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengadakan sesuatu yang baru dalam urusan(agama) kami ini, maka hal tersebut akan tertolak”.[39]

Pembicaraan para ulama tentang keberadaan keutamaan yang terdapat pada suatu nasab diantara kaum muslimin, bukanlah sebagai penjelasan akan keutamaan yang dimiliki seseorang terhadap seseorang yang lainnya. Akan tetapi sudut pandang para ulama dalam masalah ini adalah dalam rangka kebaikan muamalah/sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Syaikh Ahmad mengambil beberapa contoh untuk membatalkan pemahaman masyarakat keturunan Ba Alwi yang menganggap bahwa pernikahan wanita keturunan Ba Alwi dengan pria keturunan non Ba Alwi adalah tidak sah. Diantara contoh-contoh yang beliau ambil adalah:

  1. Kisah Rasulullah r yang menikahkan Zainab binti Jahsyin puteri bibi beliau Amiimah binti Abdil Muthalib dengan Zaid ibn Haritsah mantan budak beliau t [40].
  2. Kisah Rasulullah r yang menikahkan Ummu Kultsum binti ‘Uqbah ibn Abi Mu’ith dengan Zaid ibn Haritsah(setelah bercerai dengan Zainab)[41]
  3. Pernikahan antara Fatimah binti Qays al-Qursyiyah dengan Usamah bin Zaid seorang keturunan Budak[42]
  4. Pernikahan antara kedua puteri Rasulullah r Ruqayyah dan Ummu Kultsum dengan Utsman ibn ‘Affan[43]
  5. Ali y menikahkan puterinya Ummu Kultsum(puteri dari Fatimah y) dengan Umar ibn al-Khatthab y [44].
  6. Abdurrahman ibn ‘Auf menikahkan saudara perempuannya dengan sahabat Bilal al-Habasyi y sebagaimana disebutkan dalam Za>d al-Ma’a>d[45].
  7. Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabii’ah al-Qursiyyi(salah satu sahabat Nabi r yang ikut perang Badar) menikahkan Salim(salah seorang mantan budak wanita Anshar) dengan anak perempuan saudaranya Hindun binti al-Waliid binti al-‘Utbah ibn Rabii’ah al-Quraisy, sebagaimana dikisahkan dalam shahih al-Bukhari[46]
  8. Dalam sunan al-Tirmidzi disebutkan dari Rasulullah r bahwasanya beliau bersabda :

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ) ثَلَاثَ مَرَّاتٍ(

Jika datang kepada kalian seorang laki-laki(datang melamar) yang kalian ridha akan agama dan akhlaqnya, maka nikahkanlah dia. Dan seandainya hal ini tidak kalian lakukan, niscaya akan ada fitnah dan kerusakan di muka bumi ini. Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah ! Walaupun dengan apa(kekurangan, pent) yang dimiliki oleh laki-laki tersebut?”. Dan dijawab oleh beliau r :” Jika datang kepada kalian seorang laki-laki(datang melamar) yang kalian ridha akan agama dan akhlaqnya, maka nikahkanlah dia”(dan diulangi oleh beliau hingga tiga kali)[47]

Ditutup oleh Syaikh Ahmad tentang kisah-kisah yang beliau contohkan bahwa inilah suri tauladan yang pernah dan telah dilakukan oleh Rasulullah r beserta para sahabat beliau yang mulia y. Kemudian beliau menukil tiga buah ayat al-Quran sebagai bahan renungan bagi orang-orang yang cinta kepada Rasulullah r dan berkeinginan untuk mengikuti tauladan yang dibawa olehnya r :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.[48]

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.[49]

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.[50]

VII. Kesimpulan penulis dalam masalah keabsahan pernikahan yang tidak sekufu

  1. Kafaah merupakan salah satu standarisasi dalam kriteria memilih pasangan

Hal ini telah jelas dan disampaikan oleh Rasulullah r dalam salah satu riwayat yang berbunyi :

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Seorang wanita dinikahi karena empat faktor : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah wanita yang memiliki agama niscaya engkau akan beruntung”[51]

Sehingga dari keterangan riwayat di atas Rasulullah r menganjurkan untuk memilih wanita yang memiliki empat kriteria sebagai jodoh atau calon isteri. Akan tetapi pada kalimat terakhir ada sebuah anjuran dari beliau r untuk mendahulukan memilih wanita yang memiliki kelebihan dalam masalah pemahaman agama.

  1. Islam telah menetapkan masalah kafaah tersebut[52]

Dalam sekian banyak kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama dapat kita jumpai akan pembahasan masalah kafaah yang dijadikan sebagai salah satu syarat keabsahan sebuah pernikahan. Walaupun dalam hal ini banyak terjadi ikhtilaf. Diantara beberapa hal yang berkaitan dengan masalah kafaah adalah :

    1. Kafaah yang berkaitan dengan agama

Masalah agama sebagai tolok ukur kafaah telah disepakati secara ijma’ oleh kaum muslimin. Para imam-pun sepakat meletakkan standarisasi kafaah dalam masalah agama sebagai yang paling utama. Sebagaimana ucapan Rasulullah r :

فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Pilihlah wanita yang memiliki agama niscaya engkau akan beruntung

    1. Kafaah yang berkaitan dengan nasab atau keturunan

Diantara para ulama pembahasan masalah kafaah yang berkaitan dengan masalah nasab terjadi banyak perselisihan, apakah merupakan salah satu faktor mutlak yang harus dipenuhi terhadap keabsahan sebuah pernikahan ataukah tidak. Dalil yang digunakan diantaranya adalah sabda Rasulullah r yang berbunyi :

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari anak keturunan Ismail, dan memilih Quraisy dari Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan aku dipilih dari Bani Hasyim [53].

Akan tetapi ada beberapa dalil lain yang menghapuskan keberadaan kafaah nasab ini sebagaimana tercantum pada kisah-kisah yang dinukil oleh Syaikh Ahmad al-Surkati. [54]

Demikian pula terdapat beberapa nukilan dari para imam dan ulama madzhab yang membahas tentang kafaah nasab, kami nukilkan diantaranya :

1. Kalangan Hanafiah

Dikatakan oleh Abu Hanifah, demikian pula oleh Abu Yusuf dengan redaksi :

"لأَن التفاخر بالدين أحق من التفاخر بالنسب والحرية والمال.... "

“Dikarenakan kebanggaan di dalam masalah agama adalah lebih berhak dan layak apabila dibandingkan dengan kebanggaan dalam nasab(keturunan), dan kemerdekaan, dan harta…”[55]

ibnu Humam menjelaskan bahwasanya kedua pendapat beliau di atas adalah shahih[56].

2. Kalangan Malikiyyah

Dikatakan oleh Ahmad al-Dirdi>r, penulis Syarhu al-Kabi>r “ Kafaah adalah pada agama….”[57]

3. Kalangan Syafi’iyyah

Al-Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i menjelaskan: “Tidaklah haram sebuah pernikahan yang dilaksanakan oleh orang yang tidak sekufu’, karena seandainya si wanita ridha akan keadaan mempelai pria, demikian pula sang wali maka hal itu(kafa’ah) tidaklah menjadi masalah”[58].

Abu Is}h}a>q Ibra>hi>m ibn ‘Ali> al-Syi>ra>zi mengatakan : “Kafaah adalah dalam masalah agama, nasab(keturunan), kemerdekaan, ……, akan tetapi pertimbangan dalam masalah agama adalah yang lebih utama”[59].

4. Kalangan Hanabilah

Ibn Qudamah menjelaskan ucapan al-Khiraqi: “Banyak diriwayatkan dari Ahmad ibn Hanbal tentang syarat kafaah, dikatakan ada dua yaitu agama dan keturunan, kemudian ada pula yang meriwayatkan lima, dua yang tadi, kemudian kemerdekaan, keahlian/profesionalisme, dan kemudahan dalam harta(kekayaan).”.[60]

Dari kesemuanya yang benar adalah bahwasanya kafaah ada dalam masalah agama dan yang mendukung keabsahan sebuah pernikahan.

    1. Kafaah dalam masalah harta kekayaan

Demikian pula terhadap masalah ini terjadi ikhtilaf diantara ulama, dalil yang digunakan dalam hal ini adalah salah satu ucapan Rasulullah r kepada Fatimah binti Qays tentang Mu'awiyyah :

وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ

"Sedangkan Mu'awiyyah adalah seorang yang faqir dan tidak memiliki harta.." [61]

Dan dalil ini juga dibatalkan oleh salah satu ayat :

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[62]

    1. Kafaah yang berkaitan dengan masalah profesi/keahlian
    2. Kafaah yang berkaitan dengan kekayaan[63].

  1. Kafaah nasab bukan merupakan syarat keabsahan sebuah pernikahan dalam agama Islam.

Telah jelas dalam keterangan di atas tadi bahwasanya keberadaan nasab atau keturunan bukanlah tolok ukur/standarisasi keabsahan sebuah pernikahan. Keberadaan agama/al-Di>n dan amal shalih adalah penentu utama dalam syariat Islam.


Daftar Pustaka

ü ‘Abdi al-Jabba>r, ‘Umar , Siyar wa Tara>ji>m Ba’d} ‘Ulama>’ina> fi> al-Qarni al-Ra>bi’ ‘Ashar li al-Hijrah, Cet. II (Makkah : Mu’assasah Makkah li al-T{iba>’ah wa al-I’la>m, 1385 H)

ü Abu> Shauky, Ah}mad Ibra>hi>m, Ta>ri>kh Harakat al-Is}lah} wa al-Irsha>d, (Kuala Lumpur: Akademi Islam, University Malaya, 2000 M)

ü Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Surkati Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia.(Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1999)

ü Dah}la>n, ‘Abdulla>h ibn Muhammad S{adaqah Zayni: Irsa>l al-Shiha>b ‘ala S{u>rat al-Jawa>b:(Surabaya, Setia Usaha, tt).

ü al-Dirdi>r, Abu al-Baraka>t Si>di> Ah}mad, Syarh} al-Kabi>r, (t.p: Da>r al-Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t)

ü al-Dhahaby, Shams al-Di>n Muhammad, Siyar a'la>m al-Nubala>’ :(Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1414)

ü al-Jawziyyah, ibn Qayyim, Za>d al-Ma’a>d,(Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1421)

ü Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Vol. II, tafsir surat al-Ahzab : 33

ü al-Ka>sa>ni>, ‘Alla’u al-Di>n Abi> Bakr ibn Mas’u>d, Bada>’i'u al-S{ana>’i' fi> Tarti>b al-Shara>’i' , (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi, 1410 H)

ü ibn Mahfoed, Ahmad, Menjelang 60 tahun berdirinya Yayasan Perguruan al-Irsyad.(Surabaya :Yayasan Perguruan al-Irsyad Surabaya. 1981)

ü al-Maqdisi>, Ibn Quda>mah, al-Mughni>, tah}qi>q : ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turky(Kairo: Hajru li> al-T{iba>’ah wa al-Nashr, 1406 H)

ü al-Murghi>na>ni>, Burhan al-Di>n ‘Ali> ibn Abi> Bakr, al-Hida>yat Sharh}u Bida>yat al-Mubtadi>, yang di cetak bersama Sharah}nya Fath} al-Qadi>r oleh Ibn Huma>m(Kairo : al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1401 H)

ü Na>ji>, ‘Umar Sulaima>n: Ta>ri>kh Thawrat al-Is}la>h} wa al-Irsha>d,(t.l: t.p,t.t)

ü al-Ruhayli, Ibra>hi>m, Mawqif Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah min Ahl al-Ahwa>’ wa al-Bida’ (Madinah : Maktabah al-‘Ulu>m wa al-H{ikam, 1422 H)

ü al-Sha>fi’i>, Muh}ammad ibn Idri>s, al-Umm, (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H )

ü al-Shi>ra>zi>, Abu Is}haq Ibra>hi>m ibn ‘Ali>, al-Muhadhdhab fi> Fiqh al-Ima>m al-Sha>fi’i>. (Kairo: Mus}t}ofa al-Ba>bi> al-H}alibi>, tt)

ü al-Surkati, Ahmad Muhammad, S{u>rat al-Jawa>b : (t.l : t.p, t.t)

ü al-Zarkaly, Khair al-Di>n, al-A’la>m: Qa>mu>s Tara>jim li ashhuri al-Rija>l wa al-Nisa>’ , min al-‘Arab wa al-Musta’ribi>n wa al-Mustasyriqi>n.,(Beirut : Da>r al-‘Ilmi li al-Mala>yin, 1986 M)

ü S{ahi>h al-Bukha>ri> (Riyad} : Da>r al-Sala>m, 1418 H)

ü S{ahi>h Muslim (Riyad} : Da>r al-Sala>m, 1419 H)

ü Sunan al-Tirmidhi> (Riyad} : Da>r al-Sala>m, 1420 H)

ü Sunan al-Tirmidhi> (Riyad} : Maktabah al-Ma’a>rif, tt) cet. I.

ü Sunan al-Nasa>’i (Riyad} : Da>r al-Sala>m, 1420 H)

ü Musnad Ahmad (Riyad} : Bayt al-‘Afka>r li al-Nashr wa al-Tawzi>’, 1419 H)



[1] Urqu adalah sebuah jazirah besar dekat sungai Nil, yang terletak disebelah Selatan kota Dongala. Ah}mad Ibra>hi>m Abu> Shauky, Ta>ri>kh H{arakat al-Is}lah} wa al-Irsha>d, (Kuala Lumpur: Akademi Islam, University Malaya, 2000 M). 26

[2]. Ah}mad Ibra>hi>m Abu> Shauky, (Ta>ri>kh H{arakat…..) 27

[3] kejadian ini bertempat di masjid al-Qaulid yang pada saat itu adalah salah satu ma’had al-Quran terbesar dikawasan daerah Dongula Sudan. Ah}mad Ibra>hi>m Abu> Shauky, (Ta>ri>kh H{arakat…...). 28.

[4] Beliau adalah Fa>lih} ibn Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h ibn Fa>lih} al-Z{a>hiri>( w. 1328 H), seorang ahli hadits dan faqih yang belajar dari ulama al-H{aramain dan Kairo. Lihat dalam ‘Umar ‘Abdi al-Jabba>r , Siyar wa Tara>ji>m Ba’d} ‘Ulama>’ina> fi> al-Qarni al-Ra>bi’ ‘Ashar li al-Hijrah, Cet. II (Makkah : Mu’assasah Makkah li al-T{iba>’ah wa al-I’la>m, 1385 H). 330.

[5] Beliau adalah ‘Umar ibn H{amda>n al-Maghribi> (w. 1949 M) seorang faqih dan ahli hadits. Lahir di Tunisia dan belajar dari beberapa ulama Madinah, Makkah, Tunisia, Persia, Damaskus, dan Hadramaut. Lihat ‘Umar ‘Abdi al-Jabba>r, Siyar wa…., hal. 330-334

[6] Seorang Faqih yang berasal dari Sudan. Ah}mad Ibra>hi>m Abu> Shauky, (Ta>ri>kh H{arakat….). 34

[7] Sampai sekarang belum ditemukan keterangan tentang pribadi beliau dalam beberapa daftar pustaka

[8] Ah}mad ibn Isma>’i>l ibn Zaynu al-‘An al-Barzanji al-Madi>ni(w. 1919 M), seorang ahli sastra dan bahasa Arab yang berasal dari kota Madinah. Belajar dari berbagai ulama kota Madinah dan Kairo, salah seorang pengajar di masjid Nabawi, kemudian pindah ke kota Damaskus pada waktu perang Dunia I hingga beliau wafat. Lihat dalam Khair al-Di>n al-Zarkaly, al-A’la>m: Qa>mu>s Tara>jim li ashhuri al-Rija>l wa al-Nisa>’ , min al-‘Arab wa al-Musta’ribi>n wa al-Mustasyriqi>n.,(Beirut : Da>r al-‘Ilmi li al-Mala>yin, 1986 M), Vol. I . 99

[9] S{alah} ‘Abd al-Qa>dir al-Bakir al-Yafi>’i>. Ta>ri>kh H{adramaut al-Siya>si, II, Mus}t}afa al-Ba>bi> al-H{alaby, Kairo 1932, lihat pula dalam Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Surkati Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia.(Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1999). 9

[10] Demikian menurut penuturan Sati Muhammad Surkati dalam ‘Umar Sulaima>n Na>ji> : Ta>ri>kh Thawrat al-Is}la>h} wa al-Irsha>d,(t.l: t.p,t.t) cet I, hal. 31.

[11] Golongan Ba Alwi atau Alawi atau Sayyid atau Sharif yaitu orang-orang yang menganggap dirinya sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad r, yang berasal dari keturunan sayyid Bashrah, Ahmad Muhajir, yaitu cucu ketujuh dari cucu Muhammad r yang bernama Husain. Lihat Bisri Affandi, (Syaikh Ahmad Surkati…). 63.

[12] Ah}mad Ibra>hi>m Abu> Shauky, (Ta>ri>kh H{arakat…..) 209-220

[13] Kelebihan atau keutamaan

[14] ‘Abdulla>h ibn Muhammad S{adaqah Zayni Dah}la>n: Irsa>l al-Shiha>b ‘ala S{u>rat al-Jawa>b:(Surabaya, Setia Usaha, tt). 7-8

[15] Q.S. al-Baqarah : 253

[16] Q.S. al-Nisa : 34

[17] Q.S. al-Ahzab : 30

[18] Q.S. al-Ahzab : 31

[19] Q.S. al-Ahzab : 32

[20] Q.S. al-Ahzab : 33

[21] H.R. Tirmid}i> dalam kitab Tafsi>r al-Qura>n, no. 3129, Ah}mad dalam al-Musnad, kitab Musnad al-Sha>miyi>n, no. 16374

[22] H.S.R. Muslim, kitab Fad}a'il al-S{ah}a>bah no. 4425, dan Ahmad dalam kitab Musnad al-Ku>fiyi>n no. 18474

[23] H.R. al-Tirmidhi dalam kitab Mana>qib no. 3720

[24] Wanita dari keturunan Ba Alwi.

[25] Jawaban ini kemudian di kenal dengan istilah “Fatwa Solo”

[26] Ahmad ibn Mahfoed, Menjelang 60 tahun berdirinya Yayasan Perguruan al-Irsyad.(Surabaya :Yayasan Perguruan al-Irsyad Surabaya. 1981), 18-19

[27] Q.S. ali Imran : 187

[28] Q.S. al-Baqarah : 159-160

[29] Q.S. al-Nisa : 59

[30] Q.S. al-Syura : 10

[31] Q.S. al-Hasyr : 7

[32] Q.S. ali Imran : 31

[33] Q.S. al-Hujurat : 13

[34] Tirmidhi dalam kitab al-Qira’at no. 2869, Abu Daud dalam kitab al-‘Ilmu no. 3158,ibn Majah dalam Muqaddimah no. 221, Ahmad dalam Ba>qi> Musnad al-Mukthiri>n no. 7118, dan Darimi dalam Muqaddimah no. 348,359.

[35] H.R. Ahmad dalam Musnad Shamiyi>n, hadits no. 16675

[36] ibid , no. 16803

[37] Ahmad dalam Ba>qy> Musnad al-Ans}a>r, no. 22391

[38] bahwa agama Islam membenarkan akan pemahaman ini

[39] Bukhari kitab al-S{ulh} no.2499 dan Muslim dalam kitab al-Aqd}iyyah no. 3242

[40] Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Vol. II, tafsir surat al-Ahzab : 33

[41] Shams al-Di>n Muhammad al-Dhahaby, Siyar a'la>m al-Nubala>’ :(Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1414)II, 276-277

[42] H.S.R. Muslim, dalam kitab al-T}ala>q no. 1480 (3697)

[43] Shams al-Di>n Muhammad al-Dhahaby, Siyar a'la>m…, II. 250-252

[44] Shams al-Di>n Muhammad al-Dhahaby, Siyar a'la>m…, III, 500

[45] ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Ma’a>d,(Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1421) V,145

[46] H.S.R. al-Bukha>ri no. 5088.

[47] H.R. al-Tirmidhi dalam dalam sunan beliau, hadits no. 1085, dengan derajat hasan sebagaimana dijelaskan oleh al-Albany dalam Sunan Tirmidhi(Riyadh : Maktabah al-Ma’a>rif, tt) cet. I.

[48] Q.S. al-Nisa : 115

[49] Q.S. ali Imran : 85

[50] Q.S. al-Maa’idah : 45

[51] H.S.R. al-Bukhari dalam kitab al-Nika>h} no. 4700, Muslim dalam kitab al-Rid}a>’ no. 2661

[52] Dapat dirujuk lebih terperinci dalam Must}ofa> al-'Adawy>,Ja>mi' Ah}ka>m al-Nisa>' (Kairo : Da>r ibn 'Affa>n, 1419 H) vol. III, 255-290

[53] H.S.R. Muslim dalam kitab Fad}a'il no. 4221, dan Tirmidhi dalam kitab Mana>qib 3605

[54] Lihat pada contoh-contoh kisah pada halaman 13-14

[55] ‘Alla’u al-Di>n Abi> Bakr ibn Mas’u>d al-Ka>sa>ni>(587H), Bada>’i'u al-S{ana>’i' fi> Tarti>b al-Shara>’i' , (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi, 1410 H), II. 320

[56]Burhan al-Di>n ‘Ali> ibn Abi> Bakr al-Murghi>na>ni>, al-Hida>yat Sharh}u Bida>yat al-Mubtadi>, yang di cetak bersama Sharah}nya Fath} al-Qadi>r oleh Ibn Huma>m(Kairo : al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1401 H), II. 422

[57] Abu al-Baraka>t Si>di> Ah}mad al-Dirdi>r, Syarh} al-Kabi>r, (t.p: Da>r al-Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t) II, 249

[58] Muh}ammad ibn Idri>s al-Sha>fi’i , al-Umm, (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H )V.29

[59] Abu Is}haq Ibra>hi>m ibn ‘Ali> al-Shi>ra>zi>, al-Muhadhdhab fi> Fiqh al-Ima>m al-Sha>fi’i>. (Kairo: Mus}t}ofa al-Ba>bi> al-H}alibi>, tt) Vol. II. 50, lihat pula Ibra>hi>m al-Ruhayli, Mawqif Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah min Ahl al-Ahwa>’ wa al-Bida’ (Madinah : Maktabah al-‘Ulu>m wa al-H{ikam, 1422 H), Vol. I. 374

[60] Ibn Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni>, tah}qi>q : ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turky(Kairo: Hajru li> al-T{iba>’ah wa al-Nashr, 1406 H)cet. 1, IX.391

[61] H.S.R Muslim dalam kitab al-T}ala>q , no. 1480 (3697)

[62] Q.S. al-Nuur : 32

[63] Dan yang lainnya, lihat lebih lanjut pada rujukan footnote no. 4 pada halaman 13